Nikah Yuk !


Siapa bilang nikah itu enak. Bohong tuh. Bualan belaka. Itu hanya halusinasi bujang yang kelamaan menjomblo. Kenyataan dilapangan justru berbanding terbalik dengan mimpi-mimpi indah. Asal tahu saja, menikah itu nikmatnya hanya satu persen, yang Sembilan puluh Sembilan persennya, nikmat sekali mas bro. So, nikah yuk.

Yah, tapi nikah kan tidak semudah membalikan telapak tangan. Ini bukan zaman nabi, yang bisa nikah pake hafalan Al quran. Hari ini harus pake blangko undangan, catering, electone, Sewa salon, Ongkos gedung, Photografer, dan lain sebagainya. Tak cukup kupinang kau dengan Bismillah. Emang cinta bisa membayar boka? Rindu bisa ditukar dengan popok dan susu? Makan tuh sayang.

Dari zaman kartini sampai syahrini, masalah nikah memang punya seribu satu cerita. Di kampung saya, judulnya beraneka ragam. Mulai dari ‘cinta terhalang boka’, ‘kekasihku bukan ode‘, ‘cintaku tak se-rasi’, sampai ‘di bawah bayang-bayang catering’. Banyak yang happy ending namun tak sedikit juga yang berakhir dramatis. Seperti kawan saya yang harus kehilangan pujaan hatinya karena tergilas empang ikan lele—orang tua sang kekasih lebih memilih menjodohkan anaknya pada juragan lele.

Masih adakah cinta sejati hari ini? Sesuci embun pagi, semurni rinai hujan, seputih lelaki korea yang menggelis. Tanpa dicampuri ribetnya budaya, tradisi, dan materi . Jangan mimpi deh, cinta tak se-indah film india.  Selalu saja, bujang yang berjuang harus takluk dengan duda yang ber-uang. Ini hukum kapitalisme cinta, ada uang abang disayang, tak ada uang abang di tendang.
Namun masih ada teman saya yang beraliran Melankolis Hyper Confident .”Jika engkau kurang harta, kurang ode, dan diperparah dengan kurang ganteng, maka subsidilah dengan kesopanan” begitu katanya.  Sampai hari ini dia masih kekeh dengan ideologinya. Masih percaya tirai langit akan tersingkap oleh the power of ‘kesopanan’—bisa mensubsidi boka dan meluluhkan hati calon mertua.
Edannya, saya sepakat dengan teman saya itu. Benar, selalu banyak jalan menuju nikah. Jika engkau miskin harta maka lengkapilah dengan kekayaan hati. Jika wajahmu kurang simetri, ekuilibriumkan dengan garis keimanan. Jika nasabmu tak sedarah dengan walikota atau para raja-raja, sambungkan akalmu dengan tinta para ulama. Jika motormu bukan kawasaki ninja, jadikan kesopanan dan akhlak terpuji sebagai kendaraan menuju rumah calon mertua. Tetaplah seperti itu dan jangan lupa, rebahkan kepalamu di atas sajadah. Menangislah sejadi-jadinya sampai Pemilik jodoh iba kepadamu.
Saya teringat dengan wejangan uwanya husain—Ayah, sekaligus penasihat spiritual saya—“Jika lelaki yang dekat dengan orang kaya, bisa kecipratan harta. Apalagi dengan lelaki beriman yang dekat dengan Tuhan yang Maha kaya. Apa yang kita ragukan jika Allah ada dalam setiap nafas?”


Sekali lagi, nikah yuk. Enaknya Sembilan puluh Sembilan persen loh.     

Share:

0 komentar