Sabarisme & The Reading Father
Sebagai papa muda, hati saya mengharu biru membaca buku ayahnya andrea hirata. Mungkin karena jiwa kebapakan saya mudah terenyuh oleh lakon sobari sang tokoh utama. Atau karena anaknya, zoro, bocah puitis yang sangat berbakti pada orang tua. Saya jadi teringat Husain, anaku. Sehabis membaca novel itu, saya segera membangunkannya dari tidur, memeluknya sambil mengajaknya jalan-jalan ke kotamara. Tak lupa mentraktraktir nasi kuning ‘mama ade’. Husain hanya melongo, pagi itu begitu berbeda dari pagi sebelumnya. What’s wrong with my abi.
Saya melihat cinta Laila majnun dalam novel
baru andrea ini. Namun nasib sabari lebih dramatis. Lebih tragis. Jika qais
menjadi majnun (gila) karena laila seorang, Sabari majnun kuadrat, karena
ditinggal lena plus zoro. Ending ceritanya juga hampir sama. Berlatar pusara
cinta. Namun sekali lagi sabari lebih malang. Qais tahu bahwa laila
mencintainya. Sedangkan sabari, sampai raga dikandung tanah, dia tidak tahu
kalau lena pada akhirnya mencintainya.
Andrea melukiskan cinta yang luhur pada novel
ini. Cintanya para pecinta. Saya terpukau dengan penggambaran cinta sabari.
Bahkan menurut saya, lebih baik dari penggambaran cinta qaisnya nizami. Ada dua
hal pokok yang mendukung asumsi saya.
Pertama, cinta qais terlalu melangit. Masih
abstrak. Hari ini, kita tidak akan mungkin melampiaskan cinta model qais pada
romantisme bersama binatang-binatang. Qais terlalu mendayu-dayu memilih mellow
bersama singa ketimbang memperjuangkan cinta laila.
Berbeda dengan qais, cinta sabari adalah
cinta suci yang membumi. Cinta yang konstektual, sesuai dengan tantangan abad
21. Sabari bisa menjadi ‘Founding Father’ ideologi cinta pada anak dan
istri di Indonesia.
Ini hal penting. Bukan main-main. Menurut
Elly Risman, sebagian besar pola asuh orang tua kehilangan prinsip sabarisme.
Kuranngya kasih sayang ayah dalam rumah tangga. Pertumbuhan anak jadi tidak
seimbang. Anak kita kehilangan otak kiri bapaknya.
Sabari mengajari kita menjadi bapak
seutuhnya. Bahkan lebih gila dia menjadi ‘single father’, keluar dari
pekerjaannya demi membesarkan zoro yang bukan anak kandungnya. Membesarkan anak
sendiri itu mah biasa, hewan juga bisa. Tapi mencintai anak orang lain
seperti mencintai anak sendiri itu jauh luar biasa. Mungkin masuk taraf mulia.
Kedua, cinta qais kurang ikhlas karena masih
mengharap balasan cinta dari laila. Sedangkan sabari berbeda. Apapun
dilakukannya dengan ikhlas untuk kebahagiaan lena. Termasuk pasang badan untuk
menikahi lena yang telah berbadan dua. Padahal sabari tahu bahwa lena tak
mencintainya, bahkan muak melihat wajahnya.
Sabari juga tak pernah mendendam ketika
diceraikan lena. Bahkan ketika zoro yang besar dipangkuannya diambil paksa oleh
lena, hatinya tak pernah membenci. Tak ada umpatan keluar dari mulutnya. Dia
memang majnun tapi kegilaannya tak bisa menghapus wajah lena dari ingatannya.
Inilah jalan cinta yang elegan. Membalas maki
dengan senyum. Membalas benci dengan pengabdian. Membalas penghianatan dengan
kesetiaan abadi. Menhujani cinta tanpa pinta. Cinta jenis ini sudah langkah.
Lelaki seperti sabari hampir punah. Lihatlah bagaimana lelaki buruk rupa itu
menempatkan lena dihatinya.
Datangkan
seribu serdadu untuk membekukku!
Bidikan
seribu senapan, tepat ke ulu hatiku!
Langit
menjadi saksiku bahwa aku disini, untuk mencintaimu!
Dan biarkan
aku mati dalam keharuman cintamu.
Di ujung
hayatnya sabari masih memendam cinta. Meskipun lena tetap kekeh dengan
pilihan hatinya, sabari tak bergeming. Cinta pada lena tak berkurang sedikitpun.
Baginya, Lena adalah istri pertama dan terakhirnya. “Ingat, Boi, dalam hidup
ini semuanya terjadi tiga kali. Pertama aku mencintai ibumu, kedua aku
mencintai ibumu, ketiga aku mencintai ibumu.” Begitu kata sabari pada zoro.
Pertengahan 2013 sabari menutup mata.
Dipusaranya terukir selarik puisi indah. Puisi gubahannya. ‘Dan biarkan aku
mati dalam keharuman cintamu’. Lena klepek-klepek, mungkin dia baru
sadar bahwa cinta sabari bukanlah cinta biasa. Sebelum meninggal, dalam
sakitnya lena berpesan agar dimakamkan di belantik ; samping pusara sabari.
Dinisanya terukir ‘purnama kedua belas’. Nama yang dulu disematkan sabari
untuknya.
Ending yang begitu mempesona. Saya tak bisa
memprediksinya. Sebagai papa muda yang juga punya istri muda (Baca : istri yang
usianya muda) hati saya terasa di ulek oleh novel ini. Sabari
mengajarkan saya arti suami sejati. Bayangkan saja, selama menikah dia hanya
bertemu dengan istrinya sebanyak empat kali. Tanpa mengeluh. Hidupnya hanya
diisi dengan cinta. Itu saja sudah cukup. Melalui cinta itulah, dunia dihias
dengan pengorbanan, semangat baja, dan kesetiaan. Wajar kalau lena akhirnya
hanyut dalam samudera cintanya.
***
Membaca novel ini memang membolak balikan
hati. Sebentar marah, eh…tiba-tiba dibuat haru. Air mata saya juga dituntun
untuk tumpah dibeberapa adegannya. Makanya novel ini saya baca sendiri, biar
tidak diledek istri.
Ada dua catatan penting yang saya ikat.
Pertama, sabari mengilhami saya dengan ideology sabarismenya. Ideologi ini saya
defenisikan sebagai gerakan cinta ayah pada anak. Jika ayah edy bergerak
melalui Indonesia strong from home maka sabari mengajak para bapak memulai Indonesia
strong from father.
Terus terang ide sabari melalui story telling
sering saya praktekan dirumah. Ceritanya beragam, mulai dari dongeng fantasi
sampai cerita nabi-nabi. Menjadi The Reading Father merupakan profesi baru dan menurut saya cukup keren. Saya berharap melalui story telling, husain bisa
mencintai kegiatan membaca dan menulis. Saya baru tahu juga kalau dongeng
sebelum tidur yang disertai dengan sugesti positif merupakan hypnoterapi yang
baik untuk perkembangan psikologi anak.
Sabarisme juga bisa dilakukan dengan JJS-an.
Jalan-Jalan Sore. Dalam novel, sabari menyediakan waktu untuk jalan-jalan
bersama zoro mengelilingi kampung dan taman balai kota. Ini bisa jadi life
stylenya bapak-bapak. Mungkin juga kakek-kakek. Dulu waktu masih muda, hal
terkeren yang saya lakukan adalah jalan-jalan keluar kota. Tapi sekarang
setelah menjadi papa muda, hal terkeren itu adalah jalan-jalan bersama
Husain.
Ikatan kedua adalah tentang penulisnya.
Andrea Hirata. Dari dulu saya sudah kagum dengan abang ini. Kreativitasnya
begitu menginspirasi. Novel andrea begitu humoris, humanis, cerdas, serta kaya
dengan kearifan budaya melayu. Kapan yah saya bisa menulis novel tentang budaya
daerah? Atau minimal kisah saya bersama Husain yang punya cita rasa buton. Saya
rasa itu bisa jadi kado yang indah untuknya. Untuk saya juga.
0 komentar