Mengikat Makna, that's a good idea
“Satu peluru mungkin bisa menembus satu kepala namun
satu tulisan bisa menembus seribu kepala
sekaligus”. Ungkapan itu saya ikat dari tulisan yusran dharmawan, senior
sekampung, yang blognya terus saya ikuti. Saya terpukau dengannya, bukan hanya
karena kami sama-sama berasal dari suku Buton. Namun karena tulisannya yang
begitu nakal dan menggigit. “Mati kafir seseorang yang mengaku akademis namun
tak meninggalkan buku.” Ini ungkapan
berikutnya yang saya ikat dari tulisan bang Yusran. Dan ikatan itu juga menjadi
salah satu AMBAK (apa manfaatnya bagiku) dalam menjelajahi tanah baru ; dunia tulis menulis. Saya tidak ingin mati
kafir, saya ingin punya buku.
Terus terang, Ini pengalaman pertama saya membaca
sekaligus langsung menulis. Awalnya deg-degan sih, tapi selalu saya yakinkan diri bahwa akan ada sesuatu yang
luar biasa dibalik ketakutan ini. Saya juga menyertakan Ambaknya Bobbi de
porter sebagai peneguh hati. Selain takut mati kafir, ambak lainnya adalah
mengikat gagasan dari buku-buku yang saya baca. Ambak itu saya temukan dari
buku hernowo ; Mengikat Makna.
Ada beberapa hal
yang menarik dari konsep mengikat makna.
Ternyata, membaca dan menulis bisa menjadi kolaborasi yang dahsyat jika berjalan secara sinergi. Awalnya saya
menjalani kedua keahlian itu secara terpisah. Menulis yah menulis, membaca yah
membaca toh. Hasilnya, saya
kehilangan gagasan-gagasan bergizi dari buku-buku yang saya baca. Dalam menulispun, saya begitu keteteran dalam
mengumpulkan bahan. Benar kata rendra
“Suatu waktu kita pernah berpikir tentang sesuatu dan mendapatkan buah pikiran
tertentu yang kemudian,karena susul-susulan yang lain,terlupakan untuk beberapa
saat lamanya”.
Saya sudah lupa pada halaman berapa saya tergigit oleh
tulisan hernowo. Di buku mengikat makna, dikatakan bahwa menulis adalah cara
kita menghargai pikiran sendiri. Jika kita tidak menulis, maka secara tidak langsung
kita mengatakan bahwa apa yang ada dalam pikiran kita itu tidak penting. Saya
tersentak dengan tulisan itu. Orang yang selama ini menyepelekan gagasan,
menghina kemuliaan ilmu, pelakunya adalah bukan siapa-siapa, melainkan diri
saya sendiri.
Saya bersyukur dipertemukan dengan gagasan hernowo,
juga ikut dalam kuliah menulisnya. Saya berharap melalui mengikat makna muncul
kecintaan pada profesi baru ; Pejuang Pena. Melalui gagasan itu pula, saya
temukan cara menghidupkan hobby membaca agar lebih bermakna. Menyinergikan
membaca dan menulis that’s a good idea.
Hal lain yang menggelitik saya dari konsep mengikat
makna adalah keterlibatan diri.
Terutama ruang privat. Tips yang pertama dan kedua cukup berhasil saya lakukan.
Tulisan ini bisa menjadi contoh untuk tips itu. Ternyata menggunakan kata ganti
orang pertama, membuat jemari bagitu lancar menuangkan ide. Terutama gagasan
yang original. Untuk tips memulai dengan pertanyaan, sudah saya lakukan pada
tulisan-tulisan saya sebelumnya. Alhamdulillah
beberapa tulisan itu termuat di surat kabar local. Tulisan itu juga mendapat
apresiasi yang baik di media social (Catatan Facebook).
Berikutnya, mengikat makna sebagai jalan mengembangkan pikiran. Saya terkadang menulis teks bergizi
dari buku yang saya baca. Namun sayangnya, disamping tulisan saya jelek dan
ditulis di berbagai lembaran yang akhirnya juga hilang, saya jadi malas
mengingatnya kembali.
Setelah bertemu dengan Quantum learningnya Bobbi
deporter, cara menulis saya berbeda. Kecerdasan spasial visual yang dominan
membuat saya lebih asyik menulis sambil menggambar. Menulis ‘konvensioanal’
mempertahankan peran otak kiri sementara menggambar yang bermahzab otak kanan,
menangkap lamunan liar. Jadilah buku catatan saya penuh gambar lengkap dengan
mind mappingnya Tonny Buzan.
Mind mapping, mencata kreatif |
Namun cara itu juga menurut saya masih kurang. Merekam
pikiran orang lain toh tanpa berusaha
mengembangkannya, serasa masih hampa. Saya juga kesulitan dalam mempraktiskan
catatan pada tema yang kontekstual. Mungkin karena tidak terbiasa ‘melibatkan
diri’.
Itulah yang membuat saya gregetan dengan konsep ‘free
writing’. Mungkin ini bisa menjadi jawaban untuk kekalutan saya di atas. Saya
juga penasaran dengan ‘menulis menggambarkan karakter’ gimana itu yah?
Untuk peran mengikat makna sebagai pabrik yang memproduksi ide-ide baru, saya membolt ‘rangsangan’ rendra.
Soal rangsangan penyebab hadirnya ilham, menurut rendra, pengarang tak
perlu ngeluyur, pergi ketempat yang
tak jelas. Ilham itu sudah tertanam di dalam diri. Rangsangan yang baik akan
timbul dengan sendirinya secara normal dan natural. Rangsangan juga akan timbul
dengan sendirinya jika hidup kita berisi.
Menarik, rendra berbagi tips membuat hidup berisi.
Dimulai dari banyak belajar dan membaca, melakukan perlajanan jauh, bergaul di
segala lapangan dan bekerja sehari-hari secara normal. Yang disebut terakhir, masih saya sangsikan.
Mungkin tips itu sesuai dengan zaman rendra, namun abad 21 membutuhkan
percepatan di segala bidang. Kita harus berani mencoba sesuatu yang berbeda
selain bekerja secara normal. Tak terkecuali dengan rangsangan ilham. Sampai
kapan kita harus menunggu datangnnya ilham secara natural?
Howard gardner telah membuka paradigma baru dalam
menghargai keunikan manusia. Terutama kecerdasan. Mungkin landasan ini bisa
dijadikan acuan bahwa pencarian ilham masing-masing kecerdasan itu
berbeda-beda. Setiap kecerdasan mungkin punya cara yang khas dalam mendapatkan
rangsangan ilham. Anak naturalis bisa saja lebih mudah mendapat ilham dengan
bertengger diatas pohon. Berbeda dengan
anak matematika yang mungkin memilih diam, tenang dan menggalinya secara
sistematis. Juga anak music yang merangsang ilham dengan dengan titian nada dan
irama.
Jika Bobbi de porter percaya dengan kecepatan quantum
(1.287 Km / Jam) otak manusia dalam menyerap informasi. Maka saya tidak ragu
bahwa manusia pasti memiliki rangsangan quantum dalam menyerap ilham.
Rangsangan quantum inilah mungkin yang menggerakan jemari soekarno dan hamka
untuk menulis meski di kegelapan penjara. Serta Pramudya Ananta Toer yang
ihamnya tetap menderu meski raganya terpasung di pulau buru.