‘Kasoami’ untuk Bobbi de Porter


Alangkah indahnya bisa bertemu dengan guru tercinta malam ini. Sang gurunya manusia bertandang ke negeri khalifatul khamis. “Ingat pak, Berhentilah mengobok-obok anak kita dengan sebutan bodoh, dungu, nakal, hyper aktif atau sematan negative lainnya. Obok-oboklah diri kita sebagai orang tua, sudahkan kita menjadi teladan yang baik untuk anak yang terlahir cerdas itu." Petuah  munif chatib meneduhkan hati saya. Kata-katanya sederhana, namun langsung menghujam sukma.

Makasi atas bimbingannya pak, saya dan istri tetap tegar berdiri disamping Husain sampai detik ini. Tak tega kami meninggalkannya sendiri. Tak elok kami berkata kasar padanya. Dia adalah pelita di rumah ini. Bahkan menjadi guru yang selalu menerangi. Saat kami tersungkur menghadapi dunia, bening matanya menyambut, merinai hujan cinta. Senyumnya adalah obat dari segala jenis penyakit. Mulai dari panu, jerawat, galau, cicilan HP, dan dengkul gatal-gatal, semua tak terasa saat tawanya manja menyapa.

Saya harus menuntun pak munif meninggalkan pintu reot itu. Langkahnya tertatih-tatih. Badannya letih. Saya sedih membayangkan beliau harus mengililingi nusantara dengan tubuh yang mulai meringkih. Selalu menginspirasi pak, moga rahmat Allah selalu mendekap disetiap langkah.

Belum selesai saya menutup pintu. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. “Eh ayah edy, silahkan masuk pak”, Tangan saya meraih kursi pelastik di samping meja. “Silahkan duduk pak, Maaf yah rumah saya berantakan, Husain tadi habis main”. 

“Owh, nda apa-apa pak. Saya sudah akrab melihat karya seperti ini. Anak bapak super duper kreatif.” Ayah edy membetulkan duduknya. Kursi plastic ini mungkin tak terlalu nyaman. Namun sunggingan senyumnya tetap ramah dan bersahabat. “Jadi gimana pak anto, apa yang mau ditanyakan malam ini?”

Saya sengaja mengundang munif chatib dan ayah edy malam ini. Di taman baca yingkita, para maestro itu hadir dengan pemikiran terbaiknya. Saya tenggelam menekuri kiat-kiat mereka dalam mendidik anak. Sungguh tidak ada anak bodoh, yang ada hanyalah anak yang belum bertemu dengan guru dan orang tua yang tepat. Begitu kesimpulan kami hari ini.

Ditemani teh wayang buatan ummi, diskusi kami makin hangat. Ayah edy menjawab beberapa kekalutan saya. Beliau juga menyarankan agar Husain di home schoolingkan saja. “Sekolah yang acuh pada pendidikan akhlak, akan menjadi sarang maksiat” begitu kata ayah edy mengutip wejangan dari aa gym. 

Dengan cermat, ayah edy membeberkan data statistic tentang pergeseran karakter. Saya tercengang, tak percaya kalau bangsa berpenduduk muslim terbesar ini adalah Negara pengunggah situs porno terbesar di planet bumi. Surganya para perokok. Nomor wahid dalam kasus korupsi dan aborsi. “Dimana peran pendidikan kita hari ini?” ujar ayah edy dengan mata memerah.

Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam. Mata saya mulai berat dan terkantuk-kantuk. Ayah edy menepuk pundak saya seraya berpamitan untuk pulang. Sebelum menutup pintu dia bertanya kepada saya. “Besok malam siapa lagi yang bertandang ke taman baca ini?”. “Howard Gardner dan Bobbi de porter, Pak. Saya sudah menyiapkan kasoami dan ikan bakar untuk menjamu mereka”. Ayah edy tersenyum.   
    
11.26, 29 Maret 2016
Free Writing 23

By SUHARDIYANTO