Cerdas gaul, Cerdas yang dianak tirikan

Husain Alfaruq

“Juuuuual…juaaal, juuual ikaneee”

“Husain mari sini, Uwa mau beli. Ikan apa itu?”

“Ikan paus uwa, mau beli berapa?”

Celoteh husain pagi ini membuat kami semua tertawa. Anak ini makin banyak aja vocabnya. Dari bahasa inggris, Indonesia, arab sampai bahasa daerah. Masih campur-campur sih. Hafalnya juga masih beberapa kata.  Hanya yang menarik, anak ini bisa menggunakan kata-kata itu pada moment yang tepat. Entah untuk melucu atau merujuk minta coklatos.

Kami tidak pernah memksanya untuk menghafal kata. Yang sering kami lakukan hanyalah memperbanyak referensi, lewat menscan alam sekitar. Bahasa sederhanya sih ’Jalan-jalan’. Ya, kami sering membawa husain ke Keraton Buton untuk melihat benteng dan panorama bukit. Bercengkrama dengan kepiting dan ikan-ikan kecil di kotamara. Atau bermain pasir putih di pantai nirwana. Alam telah menjadi kamus hidup buat Husain.

Dari kegiatan jalan-jalan itu, berbagai kata-kata anehnyapun tumpah ruah. “Abi, ada ikan hiu di masjid?”,  “Panggil penguin abi, husain mau lihat”, “ada zainab di perutnya ummi?” atau “Angkat kakinya ummi, ada buaya disitu (sambil menunjuk comberan)”.

Selain cerdas gerak dan bahasa, salah satu kecerdasan husain yang paling menonjol adalah kemampuan bergaul (interpersonal). Bocah ini gampang sekali akrab dengan siapa saja. Mulai dari anak kompleks, anak mahasiswa, sampai anak ayampun diladeni.   

Tak heran sahabatnya banyak. Dari bangsa manusia sampai keluarga binatang. Di rumah, selain uut, dinda, zaky, dan nanda, husain juga akrab dengan ikan hiu, ayam, cicak, dan dua ekor kucing tetangga. Semut di pohon manggapun diajak ngobrol. Anak ini memang hyper interpersonal. Semua digauli.  

Sayangnya, kecerdasan interpersonal masih dianak tirikan hari ini. Di sekolah, kecerdasan ini masih kalah saing dengan nilai matematika dan bahasa inggris. Anda tidak akan menemukan nilai ‘cerdas gaul’ di rapor. Padahal kompetensi abad 21 sangat membutuhkan keterampilan bersosialisasi, keahlian bernegosiasi, serta kemampuan membangun link.

Sikap acuh pada kecerdasan interpersonal melahirkan komunikasi defensif—Komunikasi yang bertujuan untuk menyerang dan menyakiti. Coba kita perhatikan dialog anak-anak sekolah. Belum lengkap rasanya bila tidak di bumbuhi kata-kata kotor. Memaki telah menjadi budaya. Seluruh binatang rimba di tumpahkan dari mulutnya. Maaf, kelamin orang tuapun disebut-sebut. Tiap tahun sekolah kita sibuk dengan pengayaan ujian. Namun lalai dengan pengayaan lidah dan sikap anak didiknya. Apakah hanya nilai ujian, tujuan pendidikan kita hari ini?

Di rumah —yang juga menjadi sekolah buat husain—aturan dilarang memaki sudah di ketahui oleh anak-anak kompleks. Tanpa diingatkan lagi, anak-anak dengan sendirinya menutup mulut jika berkata-kata kotor. Termasuk memanggil temannya dengan sebutan buruk. Rumah ini memang tak punya guru BK dan satpam yang mengawasi tingkah laku. Namun keteladanan guru-gurunya telah menjadi alarm yang mengontrol dalam diri anak.

Ingatlah nak, orang yang mengaku cerdas namun lidahnya tidak santun, mirip dengan mempercayai segitiga bersisi empat. Itu mustahil. Orang alim, akalnya ada didepan lidah. Sedangkan orang jahil, akalnya terpuruk di belakang lidah ; bicara dulu, baru berpikir. Olehnya, jagalah dirimu dimulai dari menjaga lisanmu. Semak berduri sangat menusuk namun kata-kata buruk jauh lebih menusuk.

21.30, 27 Maret 2016
Free Writing 21

By SUHARDIYANTO