LIMA KISI-KISI CINTA DALAM MENJAWAB ALASAN MENULIS
Menjawab tanya
‘mengapa ingin menulis’ sama seperti menerka ‘mengapa jatuh cinta’. Susah diikat
secara utuh. Dua-duanya masalah hati. Jika masih mau mengungkap, mari simak
lima kisi-kisi cinta dalam menjawab alasan menulis. Cirinya hampir sama dengan
mereka yang dilahap asmara.
Apa ciri pertama
jatuh cinta? Benar, hati terjerembab dalam pesona. Tiba-tiba saja jiwa terguncang
oleh satu perasaan aneh. Mengganyang seluruh wujud diri. Menghadirkan kebiasan
baru yang hampir tak dikenal dan dikendali : Tidur tak lelap, makan tak enak, bibir
pecah-pecah atau susah buang air besar. Menulispun seperti itu. Jika hati
tertawan pesona, siapa yang mampu menahan laju pena? Siapa yang bisa mengekang
rasa yang membuncah dan menyentak-nyentak rongga dada? Pada posisi ini, menulis
menjadi pengikat ekstase rasa.
Setelah
terpesona, kita masuk pada ciri kedua cinta ; pijar rindu. Tak satupun yang
bisa memastikan kapan rindu itu datang. Yang kita cecap, rasa yang menyesakkan tatkala
berjarak dengan sumber pesona. Makin lama dan jauh membentang, makin besar pula
pijaran rindu menyala-nyala. Hingga pada satu titik waktu, saat jiwa tak
kuasa menahan kobarannya “Bunuhlah aku dengan pedang, namun jangan gores hatiku
dengan belati rindu” Sebagaimana rindu yang bebal untuk bersua, jaripun tak kuasa berdiam diri untuk menganggit rasa. Mengapa?
Sejatinya, menulis adalah bahasa rindu yang membuncah.
Ciri ketiga adalah candu cinta. Pucuk rindu, candupun
tiba. Puncak dari rindu yang ‘menggila’ adalah
candu. Kok menggila? Yah, bagi mereka yang mereguk candu cinta bersiaplah
‘menggila’. Seperti cinta majnun untuk laila. Candu membuat majnun mampu
melihat keindahan laila yang tak dijamah manusia selainnya. “Jika engkau
melihat rambut laila kriting, aku melihatnya lurus. Jika engkau mencium tubuh
laila anyir, aku menciumnya wangi bak kesturi. Jika engkau mencela laila
bertubuh gempal, aku melihatnya langsing. Mari duduk dimataku, biar kau lihat
keindahan laila” Terkadang menulis adalah suatu ‘kegilaan’. Kejutan rasa dari
respon mencecap keindahan.
Pernah dengar puisi rumi : Cinta bisa mengubah pahit menjadi
manis, tembaga menjadi emas, budak menjadi raja, setan menjadi malaikat. Inilah
ciri keempat cinta ; eliksir. Eliksir adalah candu yang menggerakan.
Kekuatannya semacam batu filsuf (kimiya) yang mengubah suatu unsur ke unsur
lainnya. Sepercik saja eliksir memancar
dari relung hati, seseorang akan menjelma menjadi manusia baru. Manusia sakti
mandraguna yang rela berbuat apa saja untuk kekasih. Tak heran, berbagai lagu,
puisi, syair atau monumen berdiri di altar cinta. Menulis adalah letupan
elisksir, energi alami cinta yang menghentak-hentak dalam diri manusia untuk
mengubah kepingan rasa menjadi kepingan cerita indah.
Ciri kelima dan terakhir adalah penyatuan abadi. Tujuan dari segala harap. Apa sih kebahagiaan lain bagi pecinta selain
menyatu dengan kekasihnya? Cinta telah mengutuhkan belahan jiwa yang terserak dalam
satu ikatan abadi. Hingga tak ada lagi aku dan kamu, yang ada hanyalah kita.
Pada puncaknya, menulispun seperti itu. Menjadi bagian dari diri. Bahkan diri
kita sendiri. Susah terceraikan. Pada titik ini, kita jadi meringis kala
terpisah dari menulis. Ada kegetiran hati kalau sehari tak bersua dengannya.
Menulis menjadi bagian dari bercengkrama dengan belahan jiwa. Hebatnya,
kebersamaan itu dianggit indah dalam keabadian.
Tak perlu resah, lima kisi-kisi cinta ini, melarung dalam
diri. Tak perlu galau mencarinya. Kisi-kisi ini tidaklah diraih dari pelatihan,
seminar atau teori-teori kering dalam menulis. Cukup menarilah dalam melodi
C(t)inta.
By Suhardiyanto Abu Husain
Negeri seribu benteng, 5 Agustus 2016
Tags:
WRITING
0 komentar