Pencuri karya itu bernama plagiat



Jika Kalijodo menjadi surga penjaja syahwat, maka kampus kita menjadi surga para plagiat. Kok bisa?. Setidaknya, kedua kasus ini berhubungan dengan kehormatan. Sama dengan penjaja syahwat, para intelektual kita sudah tidak punya ’kemaluan’ lagi.

Saya tersentak ketika menemukan beberapa kasus plagiat yang dilakukan para akademisi terkemuka. Nasrun Harun, rector terpilih sebuah institusi agama islam, harus diganti karena tersangkut kasus plagiat (Tempo, 09/1/2006). Di Universitas Pendidikan Indonesia, 3 dosen pemburu gelar guru besar kedapatan mencontek naskah. Sayangnya, 3 dosen itu hanya diturunkan pangkat dan jabatanya. Tak ketinggalan Anggito Abimanyu, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama, terlibat penjiplakan naskah karya Hatbonar Sinaga.(Merdeka.com 18/2/ 2014)

Tiga kasus di atas hanyalah contoh kecil dari virus plagiat yang sudah mewabah. Di kampung saya (Baca : Kota Baubau), virus ini mudah dilihat dari copy paste RPP guru di sekolah. Alasannya Simple, biar tidak repot. Murid-murid juga tak mau ketinggalan. Sudah menjadi rahasia umum kalau generasi muda kita menganggap mencontek adalah hal lumrah. Lihat betapa cantiknya kolaborasi mereka (Baca ; guru dan murid) pada transaksi jawaban di ujian nasional.

PLAGIAT ; JALAN PARA PECUNDANG INTELEKTUAL.

Membaca artikel Rhenald Kasali berjudul ‘Orang Pintar Plagiat’ (Kompas, 20/4/2010), membuat saya belajar untuk menghormati diri sendiri. Orang yang menghargai dirinya tentu tidak akan tega membohongi dirinya. Mengaku karya orang lain sebagai karya sendiri adalah bentuk mempecundangi diri.

Berikut ini beberapa Ikatan makna dari tulisan Founder Rumah Perubahan itu. Pertama, Menurut Pak Rhenald, Karya ilmiah adalah cermin keilmuwanan seseorang. Lebih baik mengawali karier dengan karya original yang buruk daripada plagiat kesempurnaan karena setiap permulaan selalu sulit.

Ikatan makna ini begitu mengena. Dulu, waktu belum tahu etika penulisan, saya kadang mengambil kata-kata hebat dari tokoh biar karangan menjadi indah. Atau saya rubah beberapa kata saja, biar nampak tulisan itu punya saya. Memang tulisan itu tidak di publikasikan. Tapi tetap saja, saya harus terbiasa menempuh jalan menulis yang benar. Yang terhormat. Memulai walaupun jelek adanya lebih baik dari pada memamerkan kata curian.

Saya pernah bertemu dengan seorang bapak yang memperlihatkan puisi anaknya. Isinya sangat indah. Maknanya begitu dalam. Saya terkagum-kagum membacanya. “Ini karya maestro” kataku. Si bapak tersenyum lebar sambil mempresentasikan isi puisi. “Ini karya siapa nak?”,pertanyaanku memecah perhatian sang anak. Bocah itu tertunduk, ada raut ketakutan di keningnya. Sambil menunggu jawaban, diam diam saya aktifkan Google. Ternyata puisi itu bukan gubahan sang anak. Seketika itu hati saya meringis. Sebagai sesama orang tua, saya tahu betul sakitnya di bohongi anak sendiri.

Kedua, Tradisi plagiarisme adalah sama dengan tradisi mencuri, yang mengakibatkan suatu bangsa menjadi malas berpikir, tidak menciptakan pembaruan, tidak menghargai originalitas dan kreativitas, dan akhirnya melumpuhkan daya saing bangsa itu sendiri.

Disini pak renald menghubungkan virus plagiat dengan tindakan mencuri. Saya tidak tahu bagaimana pemerintah menafsirkannya. Namun melihat aksi tak terpuji ini makin marak terjadi, saya rasa peran pemerintah masih kurang. Kampus-kampus kita juga tidak memiliki sistem imun yang kuat melawan virus plagiat. Padahal plagiat itu seperti korupsi, menggerogoti maruah negeri. Harus ada Komisi Penyelamat Karya (KPK) di tingkat nasional sampai ke pelosok-pelosok desa.

Efek berbahaya dari virus plagiat adalah menciptakan generasi malas berpikir. Dikit-dikit copy paste. Pemuda jadi tidak kreatif menghasikan sesuatu yang baru, berbeda dan original. Bandingkan jumlah karya ilmiah kita dengan mantan murid ; Malaysia. Indonesia bertekuk lutut hari ini.

Mau berharap pada siapa lagi jika pemuda kita dininabobokan virus plagiat. Memang bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Namun hari ini bangsa yang besar juga harus menghargai karya pemuda. Menghargai tidak cukup dengan selembar ijazah, pemerintah harus memporsikan anggaran yang besar untuk karya ilmiah anak negeri.

Ketiga, Perlu digarisbawahi dengan berpengetahuan (cerdas) saja, seseorang belum cukup mampu melahirkan karya-karya ilmiah. Karya ilmiah adalah gabungan dari pengetahuan, pengalaman, observasi-interaksi, dan tentu saja keterampilan merajut pemikiran dalam bentuk tulisan.

Point dari ikatan ketiga ini adalah merangsang otak pemuda untuk menulis. Cara merangsangya jangan pakai cara lama. Bakalan tidak berhasil. Sejak SD sampai Kuliah, Kurikulum menulis kita terlalu kaku dan kognitif. Saya punya tiga saran dalam kegiatan merangsang ini. Berlatih, berlatih dan berlatih.

Otak manusia harus terbiasa dirangsang dengan menulis. Hal ini menurut rhenald kasali dapat menguatkan selubung myelin agar membentuk muscle memori pada otak. Hasilnya, menulis akan dibantu oleh lancarnya ide dari saluran brain memory.

Para psikolog behavioristikpun mengenalkan konsep stimulus dan respon. Jika kita terbiasa menstimulus diri untuk menulis. Perlahan-lahan, diri kita akan meresponnya menjadi kebiasaan menulis.

Terakhir, melalui kesempatan ini saya ingin berbagi dengan generasi muda. Musuh kita hari tidak cukup dihadapi dengan senjata, basoka atau tank-tank berlapis baja. Melainkan dengan goresan pena pemuda yang tintanya dirahmati penguasa jagad raya. Yakinlah, kemenangan hari ini hanya digenggam oleh negara, yang pemudanya tak pernah berhenti berkarya.