MY DAD IS A LIAR


Bagaimana perasaan Anda jika dibohongi oleh orang yang paling disayangi? Apalagi pembohong itu adalah orang tua kita sendiri? Hati siapapun akan teriris jika momen itu terjadi dalam kehidupannya. Bohong memang menyakitkan, tapi lebih menyakitkan lagi, jika dibohongi oleh mereka yang kita cintai.

Short movie berjudul ‘My Dad is a liar’ sukses mengantar rasa haru di kelas menulis siang ini. Film pendek berdurasi 3, 26 menit bercerita tentang anak perempuan yang sangat mencintai ayahnya. Anak perempuan itu sangat bangga dengan berbagai kelebihan sang ayah. “Daddy is the sweetest daddy in the world. Daddy is the most handsome. The smartest. The most cleaver. The Kindness. He is my superman. Daddy wants me to do well at school. Daddy is just great,”  begitu ungkap bocah perempuan dalam suratnya.
“Abi, transletkan dank, biar kita mengerti,” Feti dan anak-anak lain mulai terpancing. Mereka mendekat ke monitor sambil menatap saya yang mencoba mengartikan film ala kadarnya.
Di detik lima puluh sembilan, kelas perlahan menjadi sendu. Sang bocah perempuan mengungkap sesuatu yang mencengangkan, “My dad is a liar. He lies about having a job. He lies about having money. He lies that he is not tired. He lies that he is not hungry. He lies that we have everything. He lies about his happiness. He lies because of me.”
Anak-anak mulai sesenggukan. Nanda mulai menghapus titik air yang tak terbendung di pelupuk matanya. Ling-ling dan Alya tertunduk pilu. Begitu juga Feti, Putri, dan Sarti. Mereka tak dapat menyembunyikan kesedihan yang nampak dari air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Di hadapan saya, mata Imelda berkaca-kaca, tatapannya kosong, nafasnya sesak, seakan-akan ada beban berat yang menghimpit rongga dada. Tak berselang lama, tangis Imelda pecah dalam pelukan teman-teman yang sedari tadi larut dalam tangisan.
“Sudahkah kalian mengucapkan terima kasih untuk seluruh pengorbanan orang tua? Untuk seluruh keringat yang menetes demi hidup dan pendidikan kalian hari ini? Panas, hujan, sehat, ataupun sakit mereka selalu ada dan tak pernah letih mencari nafkah. Untuk siapa penderitaan itu dijalani? Sudahkah kalian membalasnya?” suara lantang saya makin mengaduk-ngaduk emosional anak-anak.
Diiringi lembut piano Yiruma, suasana kelas mengharu pilu. Denting intrumen ‘kiss the rain’ menyatu dengan isak tangis yang bersahut-sahutan. “Siapa yang mau membalas kasih sayang orang tua?” pertanyaan saya menyasar seluruh penghuni kelas.
Wajah-wajah muram itu masih tertunduk.
“Sudah, hapus air mata kalian! Jika kalian sayang pada orang tua, mari tumpahkan perasaan itu lewat tulisan. Hadiahkan tulisan ini sebagai wujud cinta pada mereka” saya segera menenangkan anak-anak sembari membagikan secarik kertas untuk free writing.
Strategi Movie Learning cukup berhasil menjawab kompetensi dasar tentang kemampuan siswa menceritakan pengalaman paling berkesan dalam hidup dan menuliskannya dengan percaya diri. Anak-anak mampu menulis dengan melibatkan seluruh emosi dalam dirinya. Saya tak dapat menahan haru saat menatap mereka menulis bersama deraian air mata. Sesekali mereka menghentikan jari untuk menyeka bulir tangis yang menetes di pipi. Ini tulisan jujur dari hati yang terdalam.  Kata demi kata mengalir deras. Lembar demi lembar mereka habiskan untuk merajut rasa yang membuncah.
Ada momen spesial yang saya rekam di penghujung kelas. Setelah satu-persatu anak-anak tampil di depan, tibalah saat Imelda membacakan hasil free writing-nya. Seluruh penghuni kelas terdiam. Senyap. Semua fokus tertuju pada satu titik. Dengan wajah tertunduk, Imelda mulai menceritakan kisah tentang ayahnya yang beberapa bulan lalu menghadap Sang Khalik.  
Belum tuntas paragraf ketiga, hatinya tercekat. Imelda tak mampu lagi menuturkan kisahnya. Lidahnya kelu. Batinnya bergemuruh. Titik-titik air kian tak terbendung di pelupuk mata. Ling-ling, Putri dan Sarti sontak berdiri mendekap tubuh Imelda yang mulai goyah. Teman-teman lainpun bergegas memeluk bocah perempuan itu. Mereka menangis bersama dalam dekapan. Termasuk saya yang tak bisa menyembunyikan kesedihan.
Mau tahu paragraf yang tak bisa dilanjutkan oleh Imelda?

 “Ya Allah, jika berkenan, izinkan aku berpesan pada ayahku. Katakan padanya, aku tetap menyayanginya. Aku tetap mencintainya. Dan… aku merindukannya setiap saat. Ayah, mengapa engkau pergi secepat itu? Sementara aku masih membutuhkanmu disampingku. Memelukku.”

Share:

0 komentar