MENDETEKSI KECERDASAN ANAK DARI KENAKALAN, MUNGKINKAH?
Bagaimana menurut anda jika dahan pohon pisang
dipaksakan menjadi tiang Kasulana
Tombi (Tiang Bendera Buton)? Pohon tomat dijadikan penyangga rangka atap?Atau mengharapkan
buah yang manis dari pohon jati? Pasti anda akan tertawa terkekeh-kekeh dan mengatakan bahwa ituadalah hal
yang bodoh, gila dan kurang kerjaan. Sayapun sependapat dengan anda bahwa hal
itu adalah sesuatu yang aneh.
Namun sayangnya kita memaksakan itu pada anak-anak kita
yang memiliki potensi unggul yang beraneka ragam. Anak yang
memiliki bibit dancer dipaksa tumbuh menjadi polisi,anak
yang berbibit hafizh dipaksa
menjadi akuntan, anak yang berbibit teknik dipaksa menjadi bidan, anak yang
berbibit pengusaha dipaksa menjadi PNS. Pernahkah anda mendengar juara dunia
tinju sekaligus juaradunia formula 1? Yah tidak ada satu orangpun di planet
bumi ini yang menyabet dua gelar juara dunia sekaligus di bidang yang berbeda.
Jika kita menginginkan anak kita berkualitas world class maka fokus pada minat dan
bakatnya adalah suatu keniscayaan. Lalu bagaimana solusi praktisnya? Bagaimana
mendeteksi minat dan bakat anak sejak dini?
Perubahan pendidikan tidak akan tercapai sebelum kita
merubah paradigma tentang kecerdasan. Sudah beratus-ratus tahun kita menelan
secara mentah paradigma Binet yang mendefenisikan kecerdasan dari deretan
angka-angka IQ . Bentuk lain dari paradigma ini adalah penilaian kecerdasan
anak secara sempit terbatas pada logika matematika dan linguistik (Bahasa).
Sehingga tidak heran jika orang tua begitu mudah memvonis anaknya bodoh jika
nilai tugas matematika dan bahasa inggrisnya merah. Padahal mustahil menilai
samudra dari kualitas seember air. Mustahil menilai kecerdasan anak yang maha
luas dengan tes-tes formal yang statis.
Faktayang tidak bisa disembunyikan adalah paradigma
kecerdasan semakin jauh meninggalkan deretan angka-angka. Daniel Goleman
mengembangkan Emotional Quotient yang mendefinisikan kecerdasandari kemampuan
mengelolah hati (perasaan).Paul Scholtzmenemukan Adversity Quotient yang
menegaskan bahwa kecerdasan seseorang mesti dilihat dari kemampuannya menyelesaikan
masalah (problem solving). Di awal abad 20, pasangan psikolog Ian Marshall
danDanar Zohar dengan Spritual Quotient membuka spektrum kecerdasan ke
arah metafisis yang lebih luhur meliputi kemampuan memahami nilai dan makna
kehidupan.
Selain itu, Howard Gardner dengan Multiple Inteligences-nya
menyita perhatian dunia melalui pandangannya yang unik bahwa tidak ada anak bodoh,
yang ada hanyalah anak yang memiliki kecerdasan berbeda-beda. Gardner
telah menemukan 9 jenis kecerdasan meliputi Cerdas Alam (Naturalis), Cerdas
Diri(Interpersonal), Cerdas Musik (Musik), Cerdas Bahasa (Linguistik),
CerdasBergaul (Interpersonal), Cerdas Angka dan Logika (Matematis), Cerdas
Gerak(Kinestetis) , Cerdas Gambar dan Ruang (Spasial-Visual) dan
Kecerdasan Spritual (Eksistensial).Setiap anak pasti memiliki minimal satu
kecerdasan.
Sudahkan andamenemukan kecerdasan
anak anda?
Bagi para pendidik yang masih meraba-raba kecerdasan
anak, ada baiknya menyimak tiga paradigma baru yang ditawarkan Gardner.
Pertama, kecerdasan tidak dibatasi tes formal. Nilai rapor, nilai tes,nilai IQ
atau nilai UN tidak bisa dijadikan indikator untuk menilai kecerdasan seseorang
di masa sekarang apalagi di masa yang akan datang. Setiap anakmemiliki potensi
untuk mengembangkan kecerdasannya. Kecerdasan seseorang ituselalu berkembang
(dinamis) atau tidak statis.
Kedua, kecerdasan itu multidimensi. Siapa yang lebih
cerdas antara Tukul Arwana dan Habibie? Benar, keduanya memiliki kecerdasan
yang berbeda-beda dan tidak bisa dijadikan legitimasi untukmengunggulkan satu
dari yang lainnya. Yakinlah, setiap anak memiliki tipikal kecerdasannya
masing-masing. Dia menjadi bodoh ketika anda membandingkannyadengan anak
tetangga. Seperti kata Albert Einsten, setiap anak itu jenius namun jika
menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka dia akan kelihatan bodoh di
sepanjang hidupnya.
Ketiga, kecerdasan adalah proses DiscoveringAbility. Kecerdasan merupakan proses untuk
mencapai kondisi akhir terbaik seseorang. Proses ini berlangsung untuk
menemukan dan mendukung kemampuan seseorang serta mengubur kelemahannya.
Sejarah mencatat banyak tokoh besar memiliki kelemahan yang cukup parah. Namun
lingkungan kondusif yang tidak melihat dan melecehkan kekurangannya,
berhasil mengantarkan mereka pada kondisiakhir terbaiknya bahkan berguna
bagi dunia.
Bill gates, orang terkaya di planetbumi pernah
mengalami disleksia. Hellen Keller peraih Honorary
University Degrees Women’s dan The lions Humanitarian Award adalah Wanita yang buta, tuli dan
bisusejak kecil. Franklin D Roosevelt mantan presiden amerika, memimpin negara
adidayadengan duduk di kursi roda sebab polio. Ilmuan terbesar dunia sekelas
Einstensaja, terdiagnosis SindromAsperger,
sebuah kondisi yang berhubungan dengan autisme. Berhentilah memvonis anak kita
dengan ungkapan negatif. Apapun kondisinya, mereka adalah masterpiece karya
agung Tuhannya. Karena Pemilik alam semesta ini tidak pernah menciptakan produk
gagal. Kesabaran kitalah yang di uji.
Langkah selanjutnya adalah bagaimana menelusuri kecerdasan
anak sedini mungkin. Munif Chatib , praktisi Multiple
Inteligences Indonesia
menggunakan Multiple
Inteliggences Research (MIR)
untuk mengetahui kecenderungan kecerdasan anak yang paling menonjol dan
berpengaruh. Melalui riset psikologi MIR, guru dan orang tua mengetahui gaya
belajar anak sehingga mudah disesuaikan dengan gaya mengajar guru dan orang tua.
Hasil MIR juga bisa menjadi acuan dalam penempatan anak pada RightPlace, kondisi yang mampu mendukung minat dan
bakatnya.
Mungkinkah melihatkecerdasan anak
dari kenakalannya ?
Adacara yang lebih sederhana untuk melihat kecerdasan
anak. Thomas Amstrong, seorang praktisi pendidikan dunia, melihat kecenderungan
kecerdasan melaui ekspresi anak. Jika anda menemukan seorang anak yang pandai
membuat celetukan dan canda kata-kata berarti anak itumemiliki kecerdasan
linguistik.Anak yang suka mengobrol dengan teman-temannya adalah anak yang
memiliki kecerdasan interpersonal. Anak yang biasa bersenandung ketika belajar
bisa jadi memendam kecerdasan musical Sedangkan anak yangmemiliki kecerdasan
kinestetis biasanya tidak bisa duduk diam dan terus bermain kejar-kejaran
bersama temannya. Sayangnya, ekspresi ini terkadang ditafsirkan sebagai
kenakalan oleh guru dan orang tua.
Melihat kecerdasan anak dari ‘kenakalan’ memang agak
susah diterima oleh guru dan orangtua yang terbiasa dengan paradigma lama.
Biasanya mereka menggunakan kekerasanketimbang belajar memahami anak. Padahal
falsafah Buton dengan Po
Bhinci-Bhinciki Kuli (Saling cubit) bisa
menjadi mata untuk melihat anak kitadalam tatapan cinta. Pobhinci-bhinciki kuli mengisyaratkan
kejujuran hati nurani dalam memahami dan mengekspresikan rasa terhadap diri dan
sesama, termasuk anak kita.
Discovery Learning-nya Gardner tidak akan berhasil
jika di dada parapendidik tidak berkobar spiritcinta Po mamasiaka (Saling menyayangi). Kita tidak
akan bisa melihat kelebihan anak jika mata kita selalu tertuju pada
kekurangannya. Yakinlah, tidak ada satu orang anakpun yang berdoa dengan khusyu
serayameminta kepada Tuhannya untuk menjadi anak nakal. Begitu juga tidak ada
satuorang tuapun yang terbebas dari kesalahan. Kalau kita bisa memahami dan memaafkan
diri sendiri kenapa tidak dengan buah cinta kita.
SUHARDIYANTO
(Founder RoemahBelajar Elfarooq Baubau & Taman
Baca ‘Yingkita’)
Tags:
EDUCATION
0 komentar