SETIAP ANAK ADALAH JUARA

“Angka-angka yang ada dalam Raport sekolah yang di sebut sebagai nilai dari anak-anak kita hanya berguna untuk bisa naik kelas dan lulus di sekolah, tapi yg dibutuhkan untuk naik kelas dan sukses di kehidupan nyata bukan angka-angka tersebut melainkan sebuah Visi hidup yg jelas, Kreatifitas dan Karakter yang Positif.” -Robert Kyosaki-

Namanya sarti, siswi peringkat 20 di sekolah negeri .Anak ini memang agak lambat mengerjakan persoalan bilangan prima, bilangan ganjil genap, pohon faktor atau apapun yang berhubungan dengan hitung-menghitung.Namun coba tanya dia dimana penjual langsat terdekat, warung penjual gorengan terenak, Penjual tuli-tuli, pentol atau apapun yang berhubungan dengan jajanan, sarti juaranya. Anak ini juga cukup gesit dalam bergerak. Anda susah menemukan moment disaat sarti diam dalam 5 menit. Selain itu ,anak ini juga terampil bertanya dalam satu helaan nafas. Termasuk pertanyaan pamungkas yang sering ditanyakannya setiap pembelajaran, “Abi kapan kita belajar lagi di kota mara?”

Lain juga dengan nanda, siswi SD peraih peringkat 15.Meski tidak masuk 10 besar kelas, anak ini punya keahlian khusus yang jarang dimiliki anak seusianya.Nanda adalah Master Chef dirumah. Segala macam masakan mulai dari memasak air, menanak nasi, sampai membuat parende sudah khatam dikepalanya.Tangan kecilnya begitu lincah mengulik bumbu-bumbu masakan.Sejak orang tuanya berpisah, anak ini mengambil peran ibunya dalam persoalan dapur rumah.Semua dilakukanya dengan ikhlas, tanpa disuruh-suruh.

Sarti, nanda dan beberapa anak kompleks RT 04 kelurahan tarafu, tergabung dalam satu kelompok belajar yang saya namai kelas anak juara.Yah seperti namanya, semua personil dikelas ini adalah juara. Ada putri sang wartawan cilik, sarti si jago lari, sari si gesit, imel ‘penulis cilik’, nanda si baik hati, sertafeti si anak rajin. Semua unggul dibidangnya.Semua adalah juara.

Sedih rasanya jika melihat wajah anak-anak itu ketika ditanya peringkatnya “Sarti peringkat berapa di sekolah nak?”.Seketika itu wajahnya berubah, dia malu dengan sematan itu. 12, 15, 20, atau peringkat bontot telah melegalisasi mereka sebagai anak bodoh.Tiap tahun sekolah menerima ratusan siswa baru namun tiap tahun juga, sekolah hanya menghasilkan 3 juara. Selain peringkat itu, maaf saja anak anda masih dipandang sebelah mata.

Musibah terbesar dalam pendidikan terjadi, ketika sekolah menggiring anak didiknya untuk menilai diri mereka sendiri sebagai anak bodoh.Peringkat itulah yang dijadikan alat ukurnya.Bagi 3 orang tua yang anaknya juara kelas, penerimaan rapor adalah ritual yang membanggakan. Namun bagi puluhan orang tua yang anaknya peringkat bontot, penerimaan rapor adalah waktu eksekusi.Tidak sedikit orang tua yang memaki, menghina, meremehkan dan memukul anaknya lantaran anaknya tidak juara.

Pernah suatu malam ketika belajar matematika, saya mengelompokan anak-anak untuk bekerja sama menyelesaikan soal pohon faktor. “Abi katanya ibu guruku to, kalau kita kerja sama kepintarannya kita diambil sama teman ta” kata nanda dengan lugunya. Saya hanya bisa menyapu dada, kok ada yah guru yang berpikiran seperti itu. Menyebarkannya pula.

Sekolah dan sebagian besar masyarakat terlalu berlebihan dalam mensakralkan juara kelas.Seakan-akan pendidikan hanya bertujuan untuk meraih nilai rapor tertinggi. Benar kata John holt, penggagas home schooling, “Kita menghancurkan rasa cinta belajar pada diri anak, yang sesungguhnya mereka miliki sangat kuat di masa kecil, dengan mendorong mereka untuk belajar demi penghargaan, bintang emas, atau kertas yang diberi angka 100”

Siswa dikategorikan sebagai anak juara ketika mampu mengungguli anak yang lainnya. Semakin banyak yang dikalahkan semakin hebat anak tersebut. Kecerdasan direduksi sebatas deretan angka-angka. Inilah yang mewarnai pembelajaran kita disekolah. Spirit individualis dan kompetisi begitu dijunjung tinggi. Orang tuapun tidak peduli lagi dengan perkembangan karakter anak. Satu-satunya informasi yang ingin diketahui dari rapor hanyalah “Juara berapa kamu nak?”

Ada harapan baru yang ditawarkan kurikulum 2013.Kurikulum baru ini mencoba menggeser penilaian tunggal kurikulum sebelumnya dengan penilaian otentik.Tidak ada lagi istilah rangking-rangkingan.Penilaian otentik bercorak ipsative, hasil belajar siswa dinilai dari perkembangan siswa itu sendiri sebelum dan sesudah mendapatkan materi pembelajaran (Munif Chatib, Sekolahnya manusia 2014).

Tidaklah adil memvonis kecerdasan anak melalui perbandingan dengan anak lain. Setiap anak memiliki keunikan yang bergam. Sudah selayaknya orang tua, guru atau sekolah memahami dan memberikan ruang bagi pertumbuhan berbagai keunikan itu.Lejitkan keunikan itu menjadi juara di bidangnya masing-masing bukan mengadunya demi pengakuan Winner and Loser.

Dalam bukunya self driving, Rhenald kasali mengingatkan kita bahwa suatu usaha yang baik tidak berorientasi pada Winner and Loser.Menang diantara kekalahan orang lain hanya membuat kita menang sekali. Tapi menang bersama (win win) akan membuat kemenangan itu langgeng karena setiap anak menjaga kemenangan itu sendiri. Setiap anak menganggap anak lain bukan sebagai pesaing (Kompetitor) melainkan sebagai pelengkap (Komplementor).

Alangkah indahnya sekolah jika semua siswanya adalah juara.Semua jawara dibidangnya. Tugas sekolah,memfasilitasi kolaborasi multi talenta itu untuk menjawab tantangan zaman.Dengan paradigm win win, setiap siswa meyakini bawa dirinya adalah pemenang. Mereka tidak lagi cemas dengan tumpukan pengetahuan atau mengejar nilai tertinggi.Semua tertantang untuk berkarya dibidangnya.Berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah sendiri, Keluarga, sekolah, desa, negara bahkan berkontribusi untuk dunia.That’s Not Impossible.

Ada cerita indah yang saya ambil dari kumpulan cerita inspiratif.Mungkin cerita ini lebih baik dalam menjelaskan makna pemenang sejati.Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan.Suasana sungguh meriah siang itu, sebab, ini adalah babak final.Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki.Semuanya buatan sendiri, sebab memang begitulah peraturannya.

Ada seorang anak bernama mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Marklah yang paling tak sempurna.Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah, memang mobil itu tak begitu menarik.Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya.Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan.Final kejuaraan mobil balap mainan, setiap anak mulai bersiap digaris start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang.Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 “pembalap” kecilnya.Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.

Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai.Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang tertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, “Ya, aku siap”.

Dor. Tanda telah dimulai.Dengan satu hentakan kuat mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat.Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat.Setiap orang bersorak-sorai bersemangat menjagokan mobilnya masing-masing. “Ayo...ayo....cepat..cepat, maju...maju”, begitu teriak mereka. Ahaa..sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan, Mark lah pemenangnya.Ya, semuanya senang, begitu juga dengan Mark.Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati. “Terima Kasih”.

Saat pembagian piala tiba. Mark maju kedepan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya. “Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”. Mark terdiam. “Bukan, pak, bukan itu yang aku panjatkan” kata Mark.

Ia lalu melanjutkan, sepertinya tidak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolong mengalahkan orang lain. “Aku hanya bermohon pada Tuhan, supaya tidak menangis disaat aku kalah”.Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk tangan yang memenuhi ruangan



Share:

0 komentar