PRAHARA UN
Ada yang menarik dari pelaksanaan UN Tahun 2014. Nurmilati
Abadiah, siswi SMA Khadijah Surabaya, melayangkan surat terbuka untuk menteri
pendidikan Indonesia. Surat yang berjudul “Dilematika UNAS: Saat Nilai Salah
Berbicara” begitu berani menantang Muh. Nuh untuk mengerjakan soal UN.
“Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika
yang kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun
internet.Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui
pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya',
lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa
Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa
Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk
lulus di semua bidang itu?”
Surat Nurmilati bukan surat biasa. Surat itu mewakili air mata
8.970 siswa SMA/MA dan SMK se-Indonesia yang tidak lulus UN 2014. Ribuan siswa
dikategorikan tidak lulus hanya karena nilai UNnya tidak memenuhi standar
kelulusan yang oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) ditetapkan
nilai akhir paling rendah adalah 5,5 dan setiap mata pelajaran paling rendah
mendapat nilai 4,0.
Apa sih kesaktian Empat koma nol dan lima koma lima itu? Kurang
0,0001 aja, Siswa harus menelan pil pahit dari pendidikan yang dijalaninya
selama 3 tahun. Dengan angka sakti itu juga kualitas anak anda bisa ditentukan,
apakah pantas melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi atau tidak. Anak Anda
mungkin hafidz Al-Quran, namun jika tidak bisa menjawab soal kimia maka
pupuslah kesempatan kuliah di fakultas pendidikan agama islam. Adilkah itu?
Demikian juga dialami Siti Hapsah, Siswi yang selalu menduduki
peringkat satu dan juara umum dinyatakan lolos seleksi sebagai mahasiswa
jurusan gizi Masyarakat dan Sumber daya keluarga IPB melalui jalur Penelusuran
Minat dan Kemampuan (PMDK). Sayangya melati tidak bisa melanjutkan pendidikan
karena tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26.
(nasional.news.viva.co.id)
Sungguh keramat ketetapan angka BSNP.Dengan deretan nilai itu
saja, UN telah membuat trauma siswa senusantara.Virginia Endah, Siswi SMA
Pancasila 1, nekat menenggak cairan pengharum ruangan, meski nilai UN belum
diumumkan secara resmi. Di SMKN 3 Muara Jambi, Wahyu Ningsih mengakhiri
hidupnya dengan makan obat pestisida gara-gara tidak lulus UN. Di kampung saya,
gagal UN bisa jadi aib seumur hidup bahkan sampai 3 turunan.Ironis memang.
Pendidikan Indonesia cukup unik. Negeri heterogen dengan 350
etnis suku serta 483 bahasa dan budaya harus distandarisasi kecerdasan
bangsanya melalui beberapa mata pelajaran (Mapel) pilihan.Terus yang memiliki
kecerdasan selain Mapel pilihan itu gimana? Bisakah kita menerima penilaian
tunggal UN yang menitik beratkan pada kemampuan kognitif? Atau adakah penilain
lain yang lebih manusiawi dalam melihat kecerdasan siswa?
Multiple intelligence sebagai pandangan baru yang menghargai
ragam kecerdasan anak,mencoba menawarkan system penilaian humanis. Namanya
penilaian otentik. Berbeda dengan penilaian sebelumnya yang Kognitif Minded,
Penilaian otentik merekam semua kecerdasan anak meliputi keterampilan berpikir
(kognitif), keterampilan berkarya (Psikomotorik), serta Keterampilan bersikap
(afektif). Anak tidak hanya dinilai dari secarik kertas, tapi juga dari
kesantunanya bertutur, kesopanan, kejujuran, tanggungjawab termasuk sikap
social dan spritual.
Penilaian otentik juga memangkas budaya lama yang menyesatkan.
Konsep rangking-rangkingan tidak dianut lagi dalam penilaian ini.Sebagai
gantinya Penilaian otentik bermahzab Ipsative,hasil belajar siswa dinilai dari
perkembangan siswa itu sendiri sebelum dan sesudah mendapatkan materi
pembelajaran (Munif Chatib, Sekolahnya manusia 2014).
Dengan konsep ipsative, Kecerdasan anak tidak dibandingkan
dengan anak lain. Setiap anak adalah pribadi yang unik. Setiap anak adalah
juara. Setiap kecerdasan anak tidak dikompetisikan tapi dikolaborasi menjadi
sebuah karya.Kecerdasan dikembalikan hakikat sejatinya. Bukan berwujud Prestise
pada nilai rapor tertinggi melainkan asas benefiditas ; ilmu yang bermanfaat.
Penilaian otentik berbasis proses. Sangat berbeda dengan
penilaian standar yang dilakukan diakhir pembelajaran, biasanya ulangan harian,
mid semester, semester,dll. Penilaian otentik mengapresiasi kerja keras siswa
dalam proses pembelajaran. Kejujuran, kedisiplinan, kerjasama dan berbagai
interaksi siswa dalam pembelajaran,masuk dalam criteria penilaian. Jadi tidak
sebatas tes diatas kertas.
Soal yang berkualitas adalah soal yang dapat dikerjakan. Hal ini
mungkin menggemparkan para guru yang doyan membuat soal sulit. Penilaian
otentik yang bercorak ability test (sesuai kemampuan) menganggap penilaian
sebagai sarana untuk memotivasi. Bukan sarana untuk menjudge siswa mampu atau
tidak mampu. Penilaian otentik dilakukan agar semua siswa berhasil.
Penilaian otentik memberlakukan siswa sebagai pribadi yang unik.
Dengan konsep discovering ability, guru memberikan ruang bagi ragam kecerdasan
siswa dalam menyelesaikan persoalan (test). Jika tidak bisa dijawab secara
tertulis, mungkin bisa didiktekan, dinyanyikan, digambarkan, dibuatkan puisi,
pantun, video atau diproyeksikan dalam gerakan tubuh. Sekali-kali, yuk tantang
murid-murid kita menyelesaikan persoalan IPA dengan puisi.Unik-kan
Keunggulan lain dari penilaian otentik adalah menawarkan lingkungan
yang menarik, aktif, hidup dan menyenangkan.Siswa tak perlu cemas berburu
rangking atau takut nilainya rendah dibanding anak lain. Semua siswa bebas
saling berinteraksi dan bekerja sama dalam pembelajaran.
Bentuk test pun didesain agar multi jawaban. Penilaian otentik
menghindari jawaban tunggal. Sehingga setiap anak dipantik untuk kreatif dalam
menyelesaikan persoalan. Jika menggunakan taksonomi Bloom, Model soal tidak
lagi berkutat pada hafalan (Mengetahui dan memahami) seperti ‘Dimanakah tempat
kelahiran Sultan Hasanuddin?’atau ‘Apa yang dimaksud dengan Ilmu ekonomi?’.
Soal didesain agar memantik High order thingking (Kemampuan analisis,
aplikasi,Sintesis, dan Evaluasi) misalnya,‘Apa yang terjadi jika rakyat yang
dipimpin sultan Hasanuddin tidak berani melawan penjajah?’atau “Bagaimana
pengaruh maraknya penjual nasi kuning terhadap perekonomian kota Baubau?.
Guru-guru juga tidak perlu repot melarang siswa untuk melihat
buku. Wong jawabannya tidak ada di buku. Buku hanya pengantar siswa dalam
memecahkan masalah. Model Open Book ,melatih siswa akrab dengan literasi
informasi dan Menghidupkan otak analitis kreatif (Neokorteks). Berbeda jauh
dengan close book yang cenderung memaksa pada satu jawaban tertentu (Otoriter)
juga sebatas menjiplak isi buku. Kalau tidak salah, einsten pernah berkata,
“Otak saya tidak didesain untuk menghafal, tapi menemukan sesuatu”.
Berbeda dengan rapor standart yang hanya berwujud tulisan pada
lembar kertas.Penilaian otentik menghasilkan produk-produk kreatif yang
bermanfaat. Termasuk Portofolio yang berisi rekam karya siswa selama
pembelajaran. Orang tua juga bisa mengetahui secara kongkret kekurangan dan
perkembangan anak. Hal ini dikarenakan raport otentik menjelaskan secara detail
perkembangan di tiga ranah kecerdasan (Kognitif,Psikomotorik,Afektif) Misalnya
pada ranah Psikomotorik, ‘Dalam menulis kalimat dalam surah An-Nasr, dari segi
perencanaan baik sekali, namun dari segi hasil dan estetika masih memerlukan
usaha bimbingan lebih lanjut’. Bandingkan dengan raport standart,‘matematika :
60’, apa nih artinya? Bidang mana dari matematika yang harus diperbaiki?
kriteria mana yang masih kurang dan butuh bimbingan lebih lanjut?. Masih
abstrak.
Memang dalam pelaksanaan penilaian otentik sebagai standar
penilaian kurikum 2013, masih banyak sekolah dan guru-guru yang mengeluh.
Beberapa sekolah di tanah Buton saja, harus menunda pengambilan rapor otentik.
Sebab musababnya hanya berkutat pada wilayah teknis. “kita mau kata-katai apa
ini rapor?” kata seorang guru yang baru mendapatkan sampel rapor otentik dari
dinas pendidikan. Belum lagi keluhan lain seperti bikin repot, bingung
inputnya, rapor tidak penting lagi karena tidak ada rangkingnya, Kurangnya
sosialisasi dan lain sebagainya.
Namun diluar keluhan teknis itu, substansi penilaian otentik
bukanlah menambah kerepotan tapi meredefenisi makna keserdasan. Lebih humanis
dalam memaknai kecerdasan dari berbagai aspek. Tidak sebatas kemampuan diatas
kertas. Sungguh tidak satupun entitas di planet ini termasuk anak kita yang
tercipta tanpa guna. Semua menggoreskan pena kecerdasannya dalam berbagai rupa.
Laksana pelangi, penilaian otentik menyuguhkan keindahan itu dalam berbagai
warna.
Tags:
EDUCATION
0 komentar