Pudarnya Pesona Wa Oti



Sudah dua tahun bocah gaul La oti tidak bersenda gurau lagi bersama Wa oti. Sejak berkawan dengan Richard, Charles dan Avril, Bocah kampung ini telah di baiat menjadi masyarakat perkampungan dunia.  Tidak ada lagi  Enggo, Kasedhe-sedhe, Ka mpa-mpa, atau peka sidu-sidu. Semua digantikan dengan Facebook, Tweeter, Game Online dan Instagram. Identitas ‘La’ pun sudah dicabut dari namanya. “Panggil saya, Oti Anak-ny@ Gehool” begitulah la oti mendeklarasikan status barunya. Mendeklarasikan hijrah budayanya.  


Manusia modern menyebutnya one global village. Artinya, masyarakat di dunia hidup dalam satu planet, satu ideologi, dan satu budaya. Alvin Toffler sudah lama meramalkan model dunia tanpa batas ini (borderless world) dalam bukunya Future Shock. Penggunaan Komputer, fax, internet, e-mail, handphone, dan sebagainya telah memudahkan arus lalu-lintas informasi tanpa harus dibatasi oleh sekat-sekat wilayah geografis.

Wa oti telah kehilangan sahabatnya. Tidak ada lagi tawa renyah bersama ketika bermain opo-opo. Serunya bermain bente. Syahdunya mengaji di surau kecil kampung atau memetik Dhombolo dibawah rindangnya jambu mete. La oti telah teralienasi oleh Facebook. Labil dan tak punya jati diri. Sejak boomingnya Fast Farious 7, bocah kecil itu telah memindahkan kiblatnya dari mekkah ke Hollywood. La Oti si santri kecil telah tersihir menjadi pembalap liar jalanan. 

Kegelisahan wa oti adalah kegelisahan orang tua sekarang. Boleh jadi anak kita lahir dari rahim wa ode namun tumbuh besar menjadi little monsternya lady gaga. Rambut yang tadinya hitam berubah menjadi Blondy, hidung yang tadinya pesek dimasukin plastic biar menjadi mancung, Akhlak sopan ketimuran tergilas oleh budaya acuh (individualistis) kebarat-baratan. Ada apa dengan anak saya kemarin? Siapa anak saya hari ini? Mau kemana anak saya hari esok?.
Franklin D Roseevelt pernah berkata “we may not be able to prepare the future for our children but we can at least prepare our children for the future”.  Persiapkan anak kita sedini mungkin untuk menyongsong masa depan. Jangan biarkan globalisasi bersama pengaruh buruknya menjadi role model bagi buah hati kita.

Lihatlah bagaimana globalisasi mempromosikan budayanya lewat hal yang paling disukai anak yaitu Games Online. Di tahun 1990-an games Mortal kombat mengundang kemarahan orang tua di seluruh dunia karena mempertontonkan adegan brutal yang sangat tidak layak di tonton anak-anak. GTA San Andreas yang memertunjukan Hot Coffee mod, dalam mini gamenya terdapat adegan skandal dan sex bebas yang dapat dimainkan sepanjang pertandingan. 
Conten porno dikenalkan lewat game online
Game God Of War,  Games gratis buatan sony merupakan games paling banyak di mainkan oleh gamer berplatform playstation di seluruh dunia. Selain mengandung pornografi, game ini dipruntukkan bagi si mata satu alias dajjal. Belum lagi Fear Effect 2 dengan doktrin Lesbiannya, Far Cry 3 dengan pembunuhan yang sadistic dan masih banyak lagi berbagai jenis game yang sangat tidak layak dikonsumsi anak-anak.

Menurut penelitian yang pernah dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics yang dilakukan di Seattle Children’s Research Institute (2011), Iowa State University (2010), dan Stanford University School of Medicine (2009), dengan tegas mengatakan bahwa kebanyakan main game bisa mengganggu proses tumbuh kembang anak. Pertama, masalah sosialisasi. Anak yang menghabiskan waktu bermain bersama mesin (bukan manusia), akan merasa canggung dan kurang nyaman kala datang kesempatan untuk bergaul dengan temannya.  

Kedua, masalah komunikasi. Kegiatan berkomunikasi bukan sebatas berbicara dan mendengarkan kalimat yang terucap, tetapi juga membaca ekspresi lawan bicara. Anak yang kurang bersosialisasi biasanya kesulitan melakukan hal ini.  Ketiga, mengikis empati. Seringkali anak menyukai jenis game yang melibatkan kekerasan, seperti perang-perangan, martial art, dan sebagainya. Efek samping dari memainkan jenis game ini adalah terpicunya agresivitas anak dan terkikisnya empati si kecil terhadap orang lain.

Teknologi yang tidak pada waktunya akan memberikan efek yang buruk bagi  perkembangan psikologi anak
Keempat gangguan motorik. Tubuh yang kurang aktif bergerak akan mengurangi kesempatan anak untuk melatih kemampuan motoriknya. Risikonya, anak bisa terserang obesitas dan pertumbuhan tinggi badannya tidak maksimal. Kelima gangguan kesehatan. Menatap layar video games secara konstan dalam waktu lama bisa mencetus serangan sakit kepala, nyeri leher, gangguan tidur, dan gangguan penglihatan.

Ada fakta menarik di Waldorf School of the Peninsula. Sekolah yang terletak di Silicon Valley, sebuah kawasan di Amerika dimana perusahaan-perusahaan teknologi top dunia berkantor. Para petinggi Google, Apple, Yahoo, HP hingga eBay mengirim anak-anaknya ke sekolah Waldorf yang sama sekali tak punya computer. 

Guru-guru di Waldorf percaya bahwa komputer justru akan menghambat kemampuan bergerak, berpikir kreatif, berinteraksi dengan manusia, hingga kepekaan dan kemampuan anak memperhatikan pelajaran. Anak-anak di Waldorf School biasa mencatat dengan kertas dan pulpen, menggunakan jarum rajut dan lem perekat ketika membuat prakarya, hingga bermain-main dengan tanah setelah selesai pelajaran olahraga.

Thomas amstrong dalam bukunya the best school menyarankan agar anak aktif bermain di dunia nyata bukan sibuk di dunia maya. Bermain memfasilitasi perkembangan fisik dan sensomotorik anak disaat dia berlari, melompat, menggali, berakting, mengecat, menggambar, dan berbagai cara lain yang memiliki kontak langsung dengan bumi dan budaya sekitarnya.

Mari ajak wa oti berkunjung lagi kerumah kita. Bukankah wa oti dangan geng kampungnya mengenalkan permainan rakyat. Mengedukasi lewat permainan adalah cara yang ampuh, ramah dan tentunya menyenangkan bagi perkembangan jiwa anak.  

Ka mpa-mpa tidak kalah meriahnya loh dengan Game X Shot. Lihatlah anak-anak berlari ceria bermain bente. Apakah anda tidak terkesima dengan tanggung jawab mereka dalam menjaga garis pertahanan di permainan ase?. Tataplah la oti yang melatih motorik halusnya dalam menyusun tumpukan kaleng di permainan boy. Juga kedisplinan anak-anak ingusan ini dalam mematuhi peraturan tak tertulis di kotak Ka sedhe-sedhe. Bulir keringat mereka adalah tanda kesehatan. Sementara rangkulan, senyum, dan tawa lepas mereka mengisyaratkan kesetiakawanan, cinta dan kebahagian. Bukankah itu syarat perkembangan sosio emosional anak?

Serunya main opo-opo
Tidak perlu Phobia dalam menghadapi globalisasi. Kita sepenuhnya sadar bahwa koin globalisasi memiliki sisi yang mengantarkan ilmu dan teknologi ke puncak-puncak tertinggi peradaban. Namun di sisi lain, orang tua juga harus peka terhadap perkembangan budaya yang terkadang halus mengantarkan anak-anak pada jurang-jurang kehancuran. Indonesia memiliki beragama budaya yang kaya akan nilai edukasi, moral dan kearifan lokal. Disamping itu negara dengan mayoritas islam ini, idealnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai role model pembenahan akhlak. Benahi diri, pantikan keteladanan di rumah-rumah kita dan mari bersama menyongsong Indonesia yang tercerahkan.

(Dipublikasikan di Buton Pos, Rubrik Opini, edisi Rabu 29 Juli 2015

Share:

0 komentar