Tere liye, Rausan fikr dan Taring LGBT
Baru-baru ini, dunia pernovelan Indonesia
dikagetkan dengan berita besar. Tere Liye di-bully berjamaah. Ribuan cacian datang tidak hanya dari ahli sejarah
tapi juga para penggemarnya. Masalahnya kecil, sesingkat satu paragraf. Tapi sayang
konsekuensinya besar. Semua dimulai dari sejumput goresan pena. Karena nila
setitik rusak susu sebelanga, karena faham terlanjur diketik rusak nama
selamanya.
Berbeda dengan berbicara, menulis penuh
konsekuensi. Ketika mempublish sebuah tulisan, secara tidak langsung kita
terikat dengan suatu akad_perjanjian bahwa apa yang ditulis adalah benar-benar
pemahaman kita. Jadi hati-hati dalam menulis. Jika dulu mulutmu harimaumu, hari
ini jarimu predatormu.
Namun, buru-buru saya katakan bahwa tulisan
ini bukan untuk menakut-nakuti dalam menulis. Bukan juga memposisikan saya di
barisan pembully tere liye. Atau pembela arit merah. Tulisan ini akan berbicara
bagaimana membuat dan menata gagasan cemerlang dalam bahasa yang indah, anggun serta
elegan. Jika penulis sekondang tere liye bisa saja keseleo jari, apalagi
penulis awan seperti saya. Olehnya, saya terus mengasah kemampuan menulis.
Asahan itu kemudian saya pertajam dengan mengikat makna_cara yang oleh guru
saya, Pak hernowo, menyinergikan kegiatan membaca dan menulis.
***
Salah satu buku yang tak habis-habisnya
mengikat hati saya adalah buku mengikat makna yang ditulis pak hernowo. Ketika
membaca daftar isinya saja, pikiran saya sudah terusik oleh judul bab yang cukup menggelitik ; Gizi
sebuah buku. Emang ada buku yang tak
bergizi? Gimana sih caranya mendeteksi gizi sebuah buku?
Rasa penasaran itu akhirnya terjawab di
halaman Sembilan puluh lima. Gizi sebuah buku terletak pada susunan kata yang
mampu merangsang pikiran untuk bergerak. Makin bergizi lagi jika gagasan itu dapat
memunculkan dan mempersegar gagasan baru.
Berdasarkan defenisi ‘gizi buku’ diatas,
ada beberapa buku yang menurut saya gizinya menggelegak. Sebut saja di dunia
pendidikan ada buku ayah edy yang merintis gagasan Indonesia strong from home,
munif chatib dengan sekolahnya manusia, anis baswedan dengan gerakan Indonesia
mengajar. Di kancah internasional, Bobbi de poter adalah kampiunnya. Buku serial
quantum berhasil membawa gagasan baru dalam kemajuan pendidikan dunia.
Hal menarik juga saya temukan dalam bab
konstruksi gagasan. Terutama tentang lahirnya gagasan cemerlang. Perlu dicatat bahwa
tidak semua intelektual mampu melahirkan gagasan yang cemerlang. Hal ini
dikarenakan banyak intelektual yang terjebak pada makna-makna teoritis. Makna
yang tidak mengacu pada realitas sejati.
Saya akhirnya menyadari mengapa buku sekolahnya
manusia begitu bergizi. Pak munif yang
juga guru saya dalam perkuliahan guardian angel, menata gagasan berdasarkan
realitas. Mengacu pada pengalaman suka dukanya dalam membangun sekolah. Sungguh
berbeda dengan kebanyakan karya tulis mahasiswa. Isinya kering kerontang. Hanya
berputar pada teori-teori yang di copy paste. Hiasannya lamunan dan retorika. Jarang
kita dapatkan gagasan yang menetes dari keringat meneliti.
Hanya intelektual khusus saja yang mampu
melahirkan gagasan cemerlang. Ali syariati menyebutnya Rausayan fikr. Intelektul
sejati yang mengacu pada realitas atau pengalaman yang digelutinya dalam
berproses dan melahirkan rumusan-rumusan kehidupan. Mereka lebih senang
memasukan pengalaman yang diperolehnya lewat hati bukan akal. Mekanismenya
adalah hati yang begitu siap menerima hidayah yang lalu mampu mengeluarkan
gagasan cemerlang.
Namun gagasan cemerlang saja belum cukup.
Rausan fikr harus di backup dengan
kecakapan menata gagasan. Hal ini sangat penting mengingat gagasan yang
dituangkan dalam tulisan rata-rata akan kehilangan kebenarannya sekitar lima
puluh persen. Akan bertambah banyak jika si Rausan Fikr tidak terlatih menulis
dan akan semakin kehilangan lebih banyak lagi kalau tidak terbiasa berpikir
eksak (lewat angka atau gambar [perspektif]).
Oleh karena itu rausan fikir harus dinikahkan
dengan LGBT. Wah, kok bisa?. Tenang
dulu, LGBT yang saya maksud bukanlah penyimpangan seksual. Tapi akronim dari kata
Logis, Gamblang disimpulkan dan Terstruktur. Disingkat LGBT.
Bahasa yang LGBT bisa dilihat dari tiga
hal. Pertama, logis, susunan kata dan
kalimatnya haruslah bernalar atau memenuhi kaidah-kaidah reasoning. Agak risih
jika saat membaca, kita menemukan kalimat-kalimat yang rancu dan tidak logis. Hanya
kalimat-kalimat rasional yang mampu secara efektif menggerakan pikiran pembaca.
Kedua, gamblang
disimpulkan, dimulai dengan pemilihan diksi yang baik. Tidak hanya menggunakan
otak kiri (berpikir logis) tapi juga menyentuh otak kanan dengan menggerakan perasaan
yang melibatkan pembaca.
Alangkah indahnya sebuah tulisan jika mampu
bercengkrama dengan hati pembaca. Mengobok-obok
perasaan. Menggelitik akal. Bahasanya anggun dan elegan dalam artian tidak
jorok, sopan serta indah. Memiliki gigi bahkan taring untuk ‘mengigit’_pada
saat tertentu bahasa harus menampakan kemarahan dan menggetarkan hati pembaca.
Serta bisa memukul, bahasa yang digunakan untuk melawan sekaligus menolak
argumentasi yang keras kepala tapi sebenarnya keliru.
Ketiga, tersruktur,
ditandai dengan penataan komposisi yang baik serta memberikan perhatian
terhadap koherensi. Tulisan disusun dengan sistematika yang apik. Pertautan antara
kalimat dan paragrafnya tepat dan membentuk kesatuan yang utuh. Pembaca dapat
dengan mudah mengenali gagasan, karena disajikan secara terpadu dan harmonis.
Sampai di ikatan ini, saya takjub dengan
penataan gagasan pak hernowo. Membaca buku mengikat makna bagai melahap makanan
bergizi. Vitaminnya meluap-luap. Karbohidratnya cukup menjadi kekuatan
membangun gagasan yang cemerlang. Hati saya mendentam-dentam, tidak sabar untuk
menyempurna menjadi rausyan fikr.
Namun saya juga harus mafhum. Kasus tere
liye mencelik mata saya untuk menyadari bahwa konsekuensi menulis akan dibawa
mati. Saya ingin menjadi rausan fikr seperti yang digambarkan Imam Ali. “Setiap
penulis akan mati, hanya tulisannya yang abadi. Maka tulislah sesuatu yang
membahagiakanmu di akhirat nanti.”
0 komentar