Guru yang tak dirindukan

Apakah si kecil susah diajak  tenang untuk belajar? selalu bergerak liar. Dikit-dikit lari, lompat, jungkir balik, atau guling-guling. Suka nyeletuk. Suka manjat pohon. Suka bersenandung. Suka melukis gambar abstrak di dinding rumah.  Berbahagialah karena si kecil begitu normal, cerdas dan memiliki energi yang luar biasa untuk menjadi pemimpin masa depan. Wah….bisanya itu?. Bisa toooh…,”bongkar kebiasaan lama” kata bang Iwan Fals. Mari mengenal pandangan baru dalam memahami kecerdasan.  Lebih humanis dalam menyikapi perbedaan.  Sebuah arus pemikiran baru dari Howard Gardner yang menarik ilmu psikologi dan neurologi ke ranah edukasi. Dunia mengenalnya dengan Multiple Intelligences (MI).

Penemuan MI merubah paradigma pendidikan dunia. Dalam bukunya Effective Teaching, Daniel Muijs dan David Reynolds mengatakan bahwa Gardner berhasil mendobrak dominasi teori dan tes IQ yang sejak 1905 banyak digunakan oleh para psikolog dunia. Menurut Gardner, kecerdasan tidak diukur dari hasil tes psikologi standar, namun dapat dilihat dari kebiasaan seseorang dari dua hal. Pertama, kebiasaan seseorang dalam menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving). Kedua, kebiasaan seseorang menciptakan produk-produk baru (creativity). Betapa seringnya para pendidik menilai negatif keberagaman anak dalam berkreativitas, menyelesaikan masalahnya sendiri termasuk gaya belajar.  

Salahkah Wa Oti yang belajar sambil bermain opo-opo? Kurang ajarkah La Oti yang belajar sambil berlari? Tidak sedikit guru menganggap belajar hanya sebatas duduk manis, diam dan tidak ribut. Yang beda dengan ‘style robot’ ini dianggap nakal. Guru seperti inilah yang tak dirindukan siswa. Bayangkan saja, anak anda yang fitrahnya bermain disuruh duduk diam mendengarkan ceramah (baca : belajar) selama 7 jam sehari. Orang dewasa saja bisa diabetes kalau diterapi seperti ini. Tidak heran kalau ada tiga hal yang paling dirindukan siswa. Bel pulang, bel keluar main dan guru tidak masuk.

Mari mengenalkan MI di kelas-kelas kita. Munif Chatib seorang pakar MI Indonesia mengingatkan bahwa guru sebagai pendidik hanya memiliki wewenang untuk mengajar, hak mengajar sepenuhnya dimiliki oleh anak didik (siswa). Wewenang mengajar dijalankan melalui kedisiplinan guru untuk masuk di kelas tepat waktu. Sementara hak mengajar baru bisa dilaksanakan ketika anak didik mau menerima guru untuk masuk ke kedunianya. Jadi model pembelajaran MI bukan ‘model teko’ dimana guru hanya bertugas mengalirkan air pengetahuan ke cawan (kepala) siswa yang kosong. Tanpa mau mempedulikan apakah cawan itu terbuka atau tidak.

Bagaimana cara anda membuka penutup kaleng sprite? Cara menikmati aqua gelas atau teh kotak? Atau cara membuka penutup teh botol sosro? Masing-masing minuman kemasan memiliki cara yang khas untuk dinikmati. Anda akan kerepotan jika membuka kaleng sprite dengan pipet. Begitu juga dengan anak, masing-masing anak memiliki gaya belajar yang khas dan beraneka ragam. Metode MI mengajak kita untuk memasuki dunia anak dengan menyesuaikan gaya belajar (Learning Style) anak dengan gaya mengajar (Multi Strategi) guru.  

Dalam bukunya Intelligence Reframed, Gardner menyatakan bahwa otak manusia setidaknya menyimpan sembilan jenis kecerdasan yang disepakati sedangkan selebihnya masih misteri. Masing-masing kecerdasan memiliki sistem kerja yang khas  pada lobus-lobus otak. Pendidik yang baik harus bisa menyesuaikan strategi mengajarnya dengan pola kerja otak yang terlihat pada tingkah laku anak.  Berikut ini gambaran masing-masing kecerdasan yang ditemukan Gardner.

Pertama, kecerdasan linguistik. Jika anak anda suka nyeletuk, menulis puisi,  pantun, atau menyukai karya sastra, anak anda masuk dalam klasifikasi kecerdasan linguistik. Anak linguistic memiliki kemampuan berpikir dalam bentuk kata-kata, menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks. Pendekatan dalam strategi mengajar bisa dilakukan dengan metode reportase (melaporkan suatu peristiwa), tebak kata, membuat puisi, debat, membuat buletin, tanya jawab atau atau game komunikata.

Kedua, kecerdasan logis matematis. Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan dalam berhitung, mengukur, dan mempertimbangkan preposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan operasi angka-angka. Pendekatan dalam stategi mengajar bisa dilakukan dengan metode analogi, grafik, diagram, pembuatan tabel, atau eksperimen.

Ketiga, kecerdasan spasial visual. Jika anak anda sering melukis atau mencoret-coret dinding maka anak anda memiliki bakat spasial visual. Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan dalam memandang proyeksi tertentu dan kapasitas untuk berpikir dalam tiga cara dimensi. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk melakukan eksplorasi imajinasi, misalnya memodikasi bayangan suatu objek dengan melakukan percobaan sederhana. Pendekatan dalam strategi mengajar bisa dilakukan dengan metode gambar visual, mind mapping, simbol grafis, atau games tebak gambar.

Keempat, kecerdasan kinestetis . Berbahagialah jika anak anda suka gerak. Tidak bisa diam. Susah diajak tenang ketika belajar.  Jenis kecerdasan seperti ini tergolong kecerdasan kinestetik. Anak kinstetik lebih senang berada di lingkungan tempat dia bisa memahami sesuatu lewat pengalaman nyata. Kemampuan bergerak di sekitar objek dan keterampilan-keterampilan fisik yang halus serta kemampuan mengolah tubuh dalam  bentuk gerakan tertentu adalah ciri khas kecerdasan ini. Pendekatan strategi mengajar bisa dilakukan dengan outbound, hands of thinking, tebak gaya (pantomim), mencari harta karun, gerakan kreatif, bermain peran, fun explorating learning, atau metode-metode mengajar yang bisa membuat siswa untuk terus bergerak dengan riang gembira.

Kelima, kecerdasan musik. Anak musik memiliki kemampuan sensitivitas pada pola titi, nada, melodi, dan ritme. Pendekatan strategi mengajar bisa dilakukan dengan metode parodi lagu, permainan kuis berpacu dalam melodi, tebak nada atau tebak irama.

Keenam, kecerdasan interpersonal. Anak interpersonal mewarisi kemampuan Anis Baswedan. Tipikal anak yang mudah sekali mendapatkan teman. Hal ini dikarenakan, kecerdasan ini memiliki kemampuan memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Termasuk juga kemampuan membentuk dan menjaga hubungan serta mengetahui berbagai peran yang terdapat dalam suatu kelompok. Pendekatan strategi mengajar dapat dilakukan dengan metode manajemen konflik, marketing day, debat, atau kerja kelompok.

Ketujuh, kecerdasan intrapersonal. Anak intrapersonal bisa menjadi penerus Mario Teguh. Kecerdasan ini memiliki kemampuan membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam mengarahkan kehidupan diri sendiri maupun orang lain. Anak intrapersonal belajar melalui perasaan, nilai-nilai dan sikap. Pendekatan strategi mengajar yang bisa dilakukan antara lain metode service learning, field trip ke panti asuhan, atau game siapa dirimu.

Kedelapan, kecerdasan naturalis. Kecerdasan ini memiliki kepedulian untuk kelestarian alam kecerdasan ini berhubungan dengan kecintaan pada lingkungan, flora dan fauna serta menyenangi alam bebas. Pendekatan strategi yang bisa dilakukan adalah metode outbound, field trip, ekostudi atau wisata alam.

Kesembilan, kecerdasan eksistensialis. Istilah ini lebih dikenal dengan spiritual quotient. Kemampuan memahami dan memaknai nilai-nilai kehidupan. Kecerdasan ini meyakini bahwa dirinya bahkan seluruh alam semesta merupakan bagian dari penciptaan Tuhan. Strategi mengajar yang bisa dilakukan untuk anak eksistensialis antara lain spiritual camp, ziarah (mengingat kematian), field trip ke anak yatim, penokohan dan story telling (menceritakan tokoh heroik atau kisah religi inspiratif).


Profesor Yohanes Surya, pendiri Surya University meyakini bahwa sesungguhnya tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanyalah anak yang belum bertemu dengan guru dan metode yang tepat. Inilah kunci pendidikan humanis. “Kira-kira srategi ini sudah pas kah untuk La Oti?”, “Kayaknya strategi game berbisik cocok memang ini untuk kelasnya Wa Oti yang suka bermain”. Guru yang bijak selalu mencari metode terbaik untuk memahami anak didiknya. Guru yang baik selalu mengoreksi dirinya sebelum menyalahkan anak didiknya. Alangkah indahnya nasihat Sayyidina Ali bin Abi Tholib untuk kita para pendidik. Didiklah dirimu sebelum mendidik orang lain ; Didiklah orang lain dengan akhlakmu sebelum engkau mendidik orang lain dengan lidahmu.



Share:

0 komentar