7 Dosa Guru Tulis


Yakinlah bahwa menjadi seorang penulis yang baik
bukanlah melalui Magical tricks atau Sim salabim abracadabra,
tapi hasil dari suatu kerja keras
Senny Suzanna Alwasilah

Verba Volant, Scripta Manent : Yang terucap menguap, yang tertulis abadi. Begitulah pepatah latin yang menggambarkan pentingnya menulis. Boleh jadi seorang intelektual memiliki kecerdasan yang cemerlang, piawai beretorika, namun jika tak melahirkan tulisan, maka ia akan musnah dari peradaban. Saya teringat kalimat dahsyat dari Tan malaka "Ingatlah bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi."


Harus diakui memang kemampuan berbicara seseorang selalu lebih baik dari kemampuan menulisnya. Olehnya, kita sering menemukan intelektual yang piawai bersilat lidah namun jarang menemukan yang pandai menulis. Mengapa bisa demikian? Bukankah menulis hanya menganggit ucapan?

Secara alamiah, ujaran lebih fleksibel. Tidak perlu terikat oleh kaidah bahasa yang ribet. Lebih mudah di mengerti. Serta dibantu dengan mimik muka dan gerakan tangan dalam memperjelas makna. Lalu bagaimana dengan menulis. Mengapa kita harus menghadirkan gagasan lewat tulisan? Bukankah ujaran lebih mudah.

***

Saya menemukan gagasan yang menarik dari tulisan Senny Suzanna Alwasilah— berjudul, kolaborasi : Metode alternative pengajaran menulis. Tulisan yang terdapat dalam buku ‘pokoknya menulis’, menggambarkan tentang pentingnya menulis dan membaca serta metode praktis dalam mengembangkan kemampuan menulis di bangku sekolah.

Secara gamblang ibu senny—panggilan saya untuk Senny Suzana Alwasilah—  mengatakan bahwa tulisan tidak sama dengan ujaran. Menulis tidak hanya menuangkan kata-kata atau ucapan belaka tetapi melibatkan kerja keras. Seperti yang dikatakan Mcroberts, menulis dan ujaran itu seperti catur dan permainan ular tangga. Tujuannya sama tapi tingkat control, proses berpikir, dan gayannya sangat berbeda.

Tulisan yang baik menurut ibu senny harus dapat menyampaikan pesan penulis kepada pembaca, sehingga pembaca tidak memerlukan lagi penjelasan lisan dari penulisnya.

Ibu senny juga berbagi tips-tips dalam mengembangkan kemampuan menulis di kelas. Mengapa pelajaran menulis yang diampu sejak SD, tak menghasilkan tulisan? Pertanyaan itu harus dijawab dulu oleh para pendidik kita.

Menurut saya, ada 7 dosa guru tulis di sekolah. Pertama, Guru bukan penulis. Seorang guru yang terbiasa menulis memiliki sense of writing yang kuat—Kepekaan dalam memaknai fenomena, Sentuhan hati dalam mencerap sesuatu, atau gelora emosi dalam menilai sesuatu—sehingga mudah mengenal sekaligus membimbing pikiran dan hati siswa dalam menulis. Dia juga ahli dalam tips-tips praktis untuk menggembleng siswa yang notabene penulis pemula.  

Ibu senny juga menyarankan agar guru menjadi penulis supaya ia memiliki empati terhadap siswa dan menghargai profesionalisme penulis karena ia sendiri merasakan bagaimana sulitnya menjadi seorang penulis.

Kedua, Kognitif Oriented. Kemampuan menulis diterjemahkan sebatas hafalan teori. Siswa yang pandai menulis hanya dilihat dari kemampuan menjawab soal ujian. Padahal menulis itu seperti berenang, tidak akan dikuasai  jika kita belum tercebur di air. Benar kata ibu senny, siswa tidak akan menjadi penulis yang baik kalau hanya dicekcoki oleh berondongan teori saja. Menulis hanya bisa dikuasai dengan 3 hal : menulis,menulis, dan menulis.

Ketiga, Task Analisis. Kurikulum kita yang dibuat di jawa, membatasi pengembangan kreativitas. Sebagai contoh, ketika kita membahas tema keluarga yang muncul keluarga budi. Padahal Indonesia begitu kaya dengan suku,budaya, bahasa, tradisi,dan kearifan local. Sudah saatnya kurikulum kepenulisan dibuat kontekstual, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

Dengan kontekstual analisis, guru bisa mengarahkan siswa untuk peka terhadap keadaan sekitar, mencerap budaya local, membuka cakrawala berpikir, dan tentunya memantik kreativitas siswa dalam menulis.

Keempat, Kurang Up to Date. Ada hubungan yang linear antara ilmu kepenulisan dan perkembangan zaman. Kita jarang bertemu lagi dengan beberapa bahasa jadul—alismu bak semut beriring, wajahmu laksana cahaya rembulan,dll—Sebagai gantinya, bahasa hari ini diramaikan dengan bahasa alay,vikinisasi, slang dan tentunya bahasa-bahasa lain yang lebih mutakhir. Sayangnya, guru kurang melek dengan perkembangan bahasa hari ini.

Kelima, Jarang membaca. Bayangkan jika kita berhadapan dengan musuh di medan perang. Pas mau mengokang senjata, ternyata pelurunya lupa dibawah. Membaca adalah peluru di medan tulis. Seorang guru idealnya memiliki banyak gagasan—yang didapat dari kegemaran membaca—untuk memperkaya dirinya dan menginspirasi anak didiknya.

Keenam, Metode tunggal. Sehebat apapun materi menulis jika disajikan dengan kaku dan satu arah (teacher center), pelajaran akan terasa membosankan. Alhamdulillah, pendidikan modern sekarang sudah bergerak kearah student center. Menulis akan lebih menarik jika melibatkan siswa secara aktif. Tinggalkan metode tunggal ceramah. Guru harus kreatif mengemas pelajaran menulis dengan strategi yang asik dan menyenangkan.  

Ketujuh, Penilaian standar. Sudah saatnya kita mengubah penilaian standar —berbasis kognitif—kearah penilaian yang menyeluruh (holistic). Mencakup kecemerlangan berpikir (kognitif), keterampilan Berkarya (psikomotorik), dan kemuliaan bersikap (afektif).

Hal ini sangat penting, mengingat suksesi kegiatan menulis tidak hanya bisa dilihat dari produk tulisan. Guru juga harus memperhatikan bagaimana siswa berproses dalam menjadikan tulisannya baik.

Pendekatan proses akan mengubah focus dari produk tulisan kepada proses menulis yang menjanjikan siswa untuk terampil menulis.Dalam proses ini peran guru sebaiknya memberikan motivasi kepada siswa untuk lebih berani mengembangkan gagasan yang dimilikinya.
***

Menginjak usia dua puluh delapan tahun, saya baru menyadari betul pentingnya menulis. Agak terlambat memang. Namun saya tetap yakin bahwa saya masih bisa berkarya.

Saya juga punya anak kecil yang akan memasuki bangku sekolah. Bocah itu harus terbiasa dengan menulis. Bukan untuk memaksa, tapi saya rasa menulis adalah modal untuk meraih masa depan. Saya yakin dengan apa yang dikatakan Pramudya Ananta Toer, “Menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi”.

Share:

0 komentar