RUMAH CONJURING ; RUMAH SEKOLAH TANPA CINTA


Kalau anda dititipi anak presiden,
Bagaimana mengasuh dan menjaganya?
Beranikah anda membentaknya sedikit saja?
Pasti nggak kan?
Nah, sekarang yang nitip bukan presiden
Tapi yang jauh lebih kuasa dari presiden, yaitu Allah SWT
Beranikah anda membentak, memarahi, mencubit,
menyentil bahkan memukul?
Jika anda pernah melakukannya,
kira-kira nanti di hari akhir
apa yang anda jawab saat ditanya Pemiliknya?
- Elly Risman -

Tahukah anda siapa pembunuh nomor satu anak di Indonesia?

Jawabannya bukanlah Sumanto, Emon, Jesica, atau penjahat-penjahat di luar rumah. Pembunuh nomor wahid itu adalah orang terdekat anak, siapa lagi kalau bukan keluarga sendiri. Sebanyak 80% kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10% terjadi di lingkungan pendidikan, dan sisanya orang tak dikenal. (Surat kabar harian Kompas, Kamis 23 Mei 2002).

Sebagai papa muda, saya shock mendengarnya. Rumah yang idealnya menjadi tempat yang meneduhkan, kini beralih fungsi menjadi camp penyiksaan. Susah mendapatkan anak hari ini yang kupingnya suci dari jeweran orang tua. Kalau bukan digampar, dimaki, dicaci, paling sering dijatuhkan harga dirinya. 

Tidak sedikit pendidik (Orang tua dan guru) yang menganggap kekerasan adalah bagian dari pendidikan. Mereka menganggap bahwa kekerasan akan memberi efek jera, membuat anak mau belajar, atau alat yang digunakan agar anak menuruti keinginan orang tua. Benarkah seperti itu?

Saya teringat teman saya yang putrinya dipukul guru karena tak bisa membaca. Anak itu jadi trauma sekolah. Takut dipukuli lagi oleh sang pemberi ilmu. Belajar menjadi momok yang menakutkan. Malangnya, teman saya hanya bisa terdiam. Bingung mau melakukan apa. Pihak sekolah berdalih bahwa pukulan merupakan bagian dari methode mengajar. Ironis.

Masih ada 1001 cara mendidik anak tanpa kekerasan. Semua bisa dimulai dari menghidupkan rasa cinta di dalam hati. Penelitian otak mutakhir memberikan informasi penting tentang pengaruh kasih sayang terhadap perkembangan otak.  Salah satunya penelitian Lise Gliot pada anaknya sendiri.

Lise Gliot memasang kabel perekam otak yang dihubungkan dengan sebuah monitor komputer, dengan begitu akan terlihat setiap perubahan yang terjadi dalam perkembangan otak anaknya. Hasilnya? Satu bentakan atau makian mampu membunuh lebih dari 1 milyar sel otak saat itu juga. Satu cubitan atau pukulan mampu membunuh lebih dari 10 milyar sel otak saat itu juga. Sebaliknya satu pujian atau pelukan akan membangun kecerdasan lebih dari 10 trilyun sel otak saat itu juga.

Di dunia pendidikan, pengaruh cinta dan kasih sayang sangat penting dalam membangun hubungan/interaksi yang harmonis antara pendidik dan anak didiknya. Dave Meier, pakar Accelerated Learning dunia mengatakan bahwa perasaan negatif seperti ketakutan, stress, cemas akan memperlambat belajar bahkan menghentikannya sama sekali. Jika pembelajaran ingin melesat maka jiwa harus bahagia.

Secara fitrawi manusia adalah makhluk yang selalu membutuhkan kasih sayang. Barangsiapa yang mencintai dirinya dan ingin dicintai orang lain maka ia harus menghidupkan perasaan kasih sayang dalam dirinya. Tidak ada daya tarik terhebat di dunia selain cinta. Begitu juga tak ada daya tolak terhebat selain dada yang penuh kebencian.  Hidupkan ketertarikan anak untuk belajar melalui lisan yang menyejukan, metode yang menggembirakan, dan hati yang membahagiakan.

Bayi kita mudah menguasai berbagai keterampilan sulit seperti berjalan, berbicara
karena lingkungannya begitu kondusif : Penuh kasih sayang dan bebas salah 
Banyak loh contoh orang tua dan guru yang sukses mengajari anaknya tanpa kekerasan. Modal mereka adalah cinta, kesabaran yang luar biasa dan Methode yang kreatif. Mereka tak kenal lelah mencoba berbagai cara untuk mendidik sang buah hati. 

Silahkan searching bagaimana pengajar muda Indonesia mengajar di pedalaman dengan riang dan penuh kreativitas. Gerakan Yohanes Surya yang mencerdaskan anak Tolikara papua─Daerah yang memiliki indeks pembangunan manusia yang paling rendah se-nusantara─dengan metode GASING (Gampang, Asik dan Menyenangkan). Sekolah manusianya Munif Chatib. Sekolah alternative Qaryah Thoyibah. Sekolah luar biasa pak Ciptono Jayin yang berhasil melejitkan kemampuan anak difabel. Semua dimulai dari cinta dan tentunya tanpa kekerasan. 

Mari bersama mewujudkan 'taman yang indah' untuk tempat belajar anak-anak kita. Taman yang damai, ceria, menyehatkan dan penuh cinta. Pendidik menjadi teman yang akrab,bersahabat dan selalu sabar menuntun segala kesilapan. 

Jangan pernah mengubah 'taman belajar' menjadi rumah Conjuring. Tempat yang menakutkan, akrab dengan kekerasan, dan penuh adegan horor.  Apalagi jika di lokasi itu ada sosok valak ─Pendidik (Guru atau orang tua) yang ditakuti anak karena penampakan ngajarnya nggak asik, monothon, horor, serta dikit-dikit maen pukul.  Pasti anak akan menghindar dan bolos terbirit-birit. 

Sebagai penutup, saya kutipkan cerita dari bapak pendidikan dunia bernama Dr. Arun Gandhi─cucu mendiang Mahatma Gandhi─tentang bagaimana dia dididik dan dibesarkan oleh ayahnya.

Kala itu, saya kira-kira masih 16 tahun dan tinggal bersama kedua orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, Mahatma Gandhi. Kami tinggal di sebuah perkebunan tebu kira-kira 18 mil jauhnya dari kota Durban, Afrika Selatan.

Rumah kami jauh di pelosok desa terpencil sehingga hampir tidak memiliki tetangga . Oleh karena itu, saya dan kedua saudara perempuan saya senang sekali bila ada kesempatan untuk bisa pergi ke pusat kota untuk sekedar mengunjungi rekan atau terkadang menonton film di bioskop.

Pada suatu hari, kebetulan ayah meminta saya menemani beliau ke kota untuk menghadiri suatu konferensi selama sehari penuh. Bukan main girangnya saya saat itu. Karena tahu kami hendak ke kota, ibu menitipkan daftar panjang belanjaan yang dia butuhkan, di samping itu, ayah juga memberikan beberapa tugas kepada saya, termasuk memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi setelah kami tiba di tempat konferensi, ayah berkata, “Arun, jemput ayah di sini ya. Nanti jam 5 sore dan kita akan pulang bersama-sama.”

“Baik ayah, saya akan berada di sini tepat jam lima sore,” jawab saya dengan penuh keyakinan.

Setelah itu, saya segera meluncur untuk menyelesaikan tugas yang dititipkan ayah dan ibu kepada saya satu per satu. Sampai akhirnya hanya tinggal satu pekerjaan yang tersisa, yakni menunggu mobil selesai dari bengkel. Sambil menunggu mobil diperbaiki, saya pikir tidak ada salahnya untuk mengisi waktu senggang dengan pergi ke bioskop untuk menonton sebuah film. Saking asyiknya nonton, ternyata waktu sudah menunjukan pukul 17.30, sementara saya janji menjemput ayah 17.00. Segera saja saya melompat dan buru-buru menuju bengkel untuk mengggambil mobil, dan segera menjemput ayah yang sudah hampir satu jam menunggu. Saat saya tiba sudah hampir pukul 18.00.

Dengan gelisah, ayah bertanya kepada saya,”Arun, kenapa kamu terlambat menjemput ayah?”

Saat itu saya merasa bersalah dan sangat malu untuk mengakui bahwa saya tadi keasyikan nonton film sehingga saya terpaksa berbohong dengan mengatakan, “Maaf ayah, tadi mobilnya belum selesai diperbaiki sehingga Arun harus menunggu.”

Ternyata tanpa sepengatahuan saya, ayah sudah terlebih dahulu menelepon bengkel mobil tersebut sehingga dia tahu saya berbohong. Kemudian wajah ayah tertunduk sedih, sambil menatap saya, ayah berkata, “Arun, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki, sambil merenungkan di mana letak kesalahannya.”

Lalu, dengan masih berpakaian lengkap ayah mulai berjalan kaki menuju jalan pulang ke rumah. Padahal hari sudah mulai gelap dan jalanan semakin tidak rata. Saya tidak sampai hati meninggalkan ayah sendiri seperti itu. Namun, meskipun ayah telah ditawari naik mobil, beliau tetap berkeras untuk terus berjalan kaki. Akhirnya saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, dan tak terasa air mata saya menitik melihat penderitaan yang dialami beliau karena kebohongan bodoh yang saya lakukan. Sungguh saya sangat menyesali perbuatan saya tersebut.

Sejak saat itu, seumur hidup saya selalu berkata jujur kepada siapapun. Sering kali saya mengenang kejadian itu dan merasa terkesan. Seandainya saja saat itu ayah menghukum saya sebagaimana umumya orang tua menghukum anaknya yang berbuat salah, kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya.


Namun, dengan satu tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan ayah, walaupun tanpa kekerasan justru telah memiliki kekuatan luar biasa untuk bisa menguba diri saya sepenuhnya. Saya selalu ingat kejadian itu seolah-olah seperti baru terjadi kemarin. (di kutip dari buku ‘Ayah Edy Punya Cerita’).

Share:

0 komentar